REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Ratusan siswa dari empat kelas di SDN Juntikedokan III Desa Juntikedokan, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, terpaksa belajar di halaman sekolah, Selasa (27/8). Hal itu terjadi akibat ruang kelas mereka dirusak oleh oknum warga.
Para siswa itu merupakan siswa kelas III, IV, V, dan VI. Mereka belajar di halaman sekolah sejak pagi hari pukul 07.00 WIB hingga sekitar pukul 11.00 WIB.
Berdasarkan pantauan Republika, anak-anak belajar di halaman sekolah tanpa tenda. Padahal, cuaca di puncak musim kemarau saat ini sangat panas dan anginnya cukup kencang. Selain itu, mereka pun belajar tanpa alas dan langsung duduk di atas permukaan tanah yang kering dan berdebu.
Para siswa juga menulis di atas tumpuan kaki mereka tanpa meja. Akibatnya, mereka harus belajar dengan badan membungkuk.
''Nggak enak belajar seperti ini, panas, banyak angin dan debu. Badan jadi capek dan kaki kesemutan,'' ujar seorang siswi kelas VI, Astri.
Keluhan senada disampaikan guru kelas VI, Sudarti. Dia mengatakan, selain tidak nyaman, kondisi itu juga akhirnya membuat banyak siswa yang akhirnya memilih tidak masuk sekolah.
‘’Setiap kelas hanya separuh siswanya saja yang berangkat,’’ kata Sudarti.
Hal yang dialami para siswa dan guru di sekolah itu terjadi setelah kelas mereka dirusak oleh dua oknum warga setempat, yang berinisial Sar (50) dan Tar (53). Kedua oknum warga yang merupakan kakak beradik itu memecahkan kaca jendela sekolah tersebut, Senin (26/8) sekitar pukul 16.00 WIB.
Akibat perbuatan mereka, sebanyak 39 buah kaca jendela yang ada di ruang kelas III, IV, V, VI, serta ruang guru dan TU, pecah berantakan. Pecahan kaca itupun berserakan di lantai, termasuk di dalam ruang kelas.
''Para guru khawatir pecahan kaca itu akan melukai para siswa sehingga kami putuskan siswa belajar di halaman sekolah untuk sementara waktu,'' kata seorang guru, H Sahadi.
Sahadi mengungkapkan, peristiwa itu dilatarbelakangi oleh klaim Sar dan Tar terhadap tanah yang kini dibangun SDN Juntikedokan III. Kedua warga itu mengaku bahwa tanah tersebut milik mereka.
Padahal, lanjut Sahadi, tanah tersebut sudah dibayar oleh pihak desa sejak lebih dari 30 tahun lalu. Sedangkan uang pembayaran tanahnya diserahkan kepada uwa (paman) mereka.
‘’Tanah ini ada SPPT-nya dan sertifikatnya 90 persen hampir rampung,’’ tegas Sahadi.