REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan pemulung menjadi tugas bersama. Oleh sebab itu, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, melainkan bersinergi dengan elemen terkait lainnya.
"Penanganan pemulung tentu berbeda dengan pengemis. Karena, mereka memiliki pekerjaan memungut dan mengumpulkan barang bekas, seperti besi bekas, plastik bekas dan lainnya," ujar Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri saat meresmikan gedung asrama yatim dan dhuafa Yayasan Media Amal Islami (MAI), di Cilandak Barat, Jakarta, Sabtu (24/8).
Hingga kini, aku dia, para pemulung termasuk komunitas yang mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagian difasilitasi mitra Kementerian Sosial (Kemensos) di sejumlah lembaga kesejahteraan sosial.
Menurut Salim, terdapat ribuan pemulung yang tinggal di DKI Jakarta. Umumnya mereka tinggal di gubuk-gubuk darurat di pinggiran kali, pinggir rel kereta api, juga lahan-lahan kosong telantar. Sebagian kecil lainnya malah tidak memiliki tempat tinggal.
"Mereka terdiri dari bapak, istri, dan anak-anak. Kadang berpindah dari satu tempat ke tempat lain," imbuh Mensos.
Instansinya, kata Salim lagi, mengapresiasi kinerja Yayasan MAI yang didirikan sejak 1999. Pasalnya, lembaga nirlaba tersebut secara nyata telah menunjukkan kepeduliannya terhadap pembinaan kaum dhuafa, seperti anak yatim dan anak-anak pemulung.
Pada 2010, yayasan ini membangun sebuah gedung yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal para pemulung di kawasan Cilandak Barat, Jakarta.
Gedung ini menjadi pusat pembinaan dan perlindungan bagi anak-anak yatim, anak pemulung dan dhuafa dalam bidang pendidikan, tempat tinggal serta kebutuhan sosial lainnya.
Salim menambahkan, saat ini terdapat 26 permasalahan kesejahteraan sosial termasuk kebencanaan, keterlantatan, ketunaan, kemiskinan, kecacatan, keterpencilan, serta tindak kekerasan.
"Kondisi demikian mengkhawatirkan. Karena dapat berpotensi menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya berupa tawuran atau konflik sosial antar warga. Sudah banyak korban fisik, psikologis, maupun harta benda," katanya.
Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) menyebar seluruh Indonesia. Data Kemensos menunjukkan, ada 230 ribu anak jalanan, 1,8 juta lanjut usia (lansia) telantar, 7 juta penyandang cacat (1,7 juta di antaranya cacat terlantar), 270 ribu kepala Keluarga (KK) korban bencana sosial (konflik sosial), gelandangan, serta pengemis.
Penyelesaian masalah tersebut menurutnya membutuhkan cara-cara luar biasa. Kemensos memiliki model pemberdayaan warga miskin dan perlindungan serta pelayanan sosial.
"Salah satunya dengan memperkuat kembali nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi jati diri bangsa ini, seperti pela gandong, juga adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah," tuturnya.