Selasa 20 Aug 2013 05:02 WIB

Jokowi Bicara Bisnis, Seperti Apa?

Jokowi
Foto: Republika/Agung Supri
Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengaku tidak bisa berbuat banyak terkait dengan pemecatan 1.200 buruh di Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP). Sebab, pemberian upah merupakan urusan perusahaan dengan karyawannya. Terlebih Pemprov DKI Jakarta memang berencana menggeser industri keluar ibu kota.

Pria yang akrab disapa Jokowi ini mengatakan, pemberian upah bisa dibicarakan antara pengusaha dengan karyawan. Menurutnya dalam sebuah industri tidak melulu mendapatkan keuntungan sehingga harus diperhitungkan pula resiko kerugian. "Ya perusahaan itu kan berhitung untung dan rugi. Kalau hitung-hitungannya untung itu pasti, tapi kalau rugi ya mereka punya escape dari kalkulasi yang ada," kata Jokowi, di Balaikota, seperti dilansir situs beritajakarta.

Selain itu, pihaknya tidak ingin Jakarta menjadi pusat industri. Sehingga tidak menarik orang untuk datang ke Jakarta. Karena Jakarta saat ini dibangun menjadi kota jasa dan perdagangan. "Kalau itu kan urusan perusaahaan dengan pekerja, mereka bisa berbicara. Tapi apa kita mau di Jakarta ini penuh dengan industri? Kan tidak. Arah kita jelas, kalau industri memang baiknya di luar atau di pinggir Jakarta," ujarnya.

Ia pun tidak khawatir dengan adanya pemecatan tersebut akan menambah jumlah pengangguran di ibu kota. Sebab para pekerja akan mencari tempat industri itu sendiri. "Di mana pun yang namanya perusahaan, yang namanya usaha, yang namanya uang itu bergerak ke tempat yang menguntungkan," tegasnya.

Sebelumnya, Kepala Humas PT JIEP, Achmad Maulizal mengatakan, sebanyak empat perusahaan di kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Jakarta Timur, terancam ditutup. Empat perusahaan itu adalah PT Winer 3, PT Hansol 1, PT Hansai 5, dan PT Olimpic.

Penutupan terpaksa dilakukan perusahaan asal Korea Selatan itu, karena tidak mampu membayar upah para pekerjanya sesuai UMP DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta. "Kenaikan UMP tahun ini dianggap terlalu tinggi. Jadi mereka tidak sanggup membayarkannya kepada buruh," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement