Senin 19 Aug 2013 07:58 WIB
Resonansi

Demokrasi Mesir Dirampok Militer

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Apa yang bisa kita katakan mengenai rentetan peristiwa yang telah dan sedang berlangsung di Mesir sekarang ini? Lebih dari 800 warga telah terbunuh dan puluhan ribu orang terluka, ini versi pemerintah sementara yang mengambil alih kekuasaan demokrasi Presiden Mursi pada 3 Juli lalu. Versi Ikhwanul Muslimin, yang meninggal dibunuh oleh aparat keamanan Mesir lebih dari 3.000 orang, puluhan ribu terluka, dan puluhan ribu lain masih hilang atau ditahan.

Versi pemerintah sementara, apa yang dilakukan aparat keamanan adalah untuk memerangi kelompok-kelompok teroris dan anarkis yang telah mengganggu ketertiban umum dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Kelompok-kelompok teroris dan anarkis yang dimaksud jelaslah mengarah kepada mereka yang menamakan diri sebagai "Solidaritas Nasional untuk Membela Legalitas" (at Tahaluf al Wathani Lida’mi al Syar’iyah). Solidaritas Nasional untuk Membela Legalitas merupakan organisasi baru. Ia terbentuk untuk membela demokrasi.

Demokrasi yang disimbolkan oleh Presiden Muhammad Mursi yang terpilih secara demokratis melalui pemilu rakyat pada 14 bulan lalu. Solidaritas nasional ini terdiri dari ormas-ormas dan lembaga Islam serta kelompok-kelompok masyarakat yang peduli pada penegakan kehidupan demokrasi di Mesir. Yang terbesar tentu saja Ikhwanul Muslimin dengan sayap politiknya, Partai Kebebasan dan Pengadilan. Yang terakhir ini merupakan partai politik yang mencalonkan Muhammad Mursi sebagai presiden pada pemilu lebih dari setahun lalu.

Solidaritas nasional ini muncul beberapa hari setelah Presiden Mursi dimakzulkan secara semena-mena oleh militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Fattah al-Sisi. Al-Sisi merupakan menteri pertahanan yang ditunjuk oleh Presiden Mursi. Mursi sendiri hingga kini masih ditahan oleh militer di suatu tempat yang tidak diketahui oleh keluarga maupun para pendukungnya.

Pemakzulan Mursi dilakukan ketika muncul aksi unjuk rasa besar-besaran pada 30 Juni lalu dari dua pihak, yang pro maupun yang kontra dengan pemerintah. Anehnya, aparat keamanan yang mestinya mengamankan para pendemo agar tidak bentrok, justru membelot pada tuntutan oposisi yang terdiri dari kelompok-kelompok liberal, sekuler, komunis, dan nasionalis. Yaitu dengan mengudeta kekuasaan Presiden Mursi, membekukan konstitusi negara yang sah, dan membubarkan Majelis Syuro (MPR) hasil pemilu.

Selanjutnya, militer juga menunjuk Ketua MK Adly Mansur sebagai presiden dan menawarkan Peta Masa Depan (Kharitah at-Tariq/Kharitah al-Mustaqbal) yang harus diikuti. Meskipun Jenderal Abdul Fattah al-Sisi sendiri tetap hanya menjabat sebagai menteri pertahanan dan sekaligus panglima angkatan bersenjata, sejatinya ia merupakan penguasa yang sesungguhnya dan sang presiden hanyalah boneka militer. Apalagi, ketika para gubernur yang baru ditunjuk hampir seluruhnya terdiri dari para jenderal.

Pertanyaannya, bagaimanakah kita menyikapi sebuah pemerintahan atau kekuasaan yang terpilih secara demokratis lewat pemilu rakyat, lalu diambil alih oleh militer? Hal inilah yang tidak bisa diterima oleh para pendukung Presiden Mursi. Mereka ini kemudian membentuk apa yang disebut sebagai Solidaritas Nasional untuk Membela Legalitas. Legalitas yang dimaksud adalah Presiden Mursi yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu. Mereka bukan hanya dari kader dan simpatisan Ikhwanul Muslimin, tapi juga dari kelompok-kelompok yang pro atau yang peduli dengan kehidupan demokrasi.

Sejak terjadi kudeta militer, para pendukung demokrasi--jumlahnya jutaan di seluruh negeri--ini setiap hari tidak lelah mengadakan demonstrasi besar-besaran menentang kudeta militer dan pemerintahan bonekanya. Mereka bahkan mendirikan tenda-tenda di Lapangan Rabiah Aladawiyah (timur Kairo) dan Lapangan An Nahdlah (barat Kairo) sebagai markas para demonstran pro demokrasi.

Dua perkemahan di Rabiah Aladawiyah dan An Nahdlah serta aksi-aksi unjuk rasa pro demokrasi inilah yang dituding oleh militer dan pemerintahan bonekanya sebagai tindakan teror dan anarkis yang mengganggu ketertiban umum dan kehidupan masyarakat. Dengan alasan ini mereka--militer dan pemerintah boneka--kemudian membubarkan gerakan pro demokrasi yang menyelenggarakan aksi-aksi unjuk rasa secara damai.

Bukan hanya membubarkan, tapi mereka juga menumpas para demonstran dengan berbagai senjata berat dan ringan. Bahkan, mereka juga memanfaatkan jasa para preman. Akibatnya, ribuan orang pro demokrasi tewas mengenaskan, ribuan lain luka berat dan ringan, ribuan lagi hilang dan ditahan. Masjid yang menjadi markas pro demokrasi di Rabiah Aladawiyah juga dibakar. Sementara itu, masjid di Ramsis, tengah Kairo, tempat berlindung para demonstran, diserbu aparat keamanan hingga rusak berat pada Sabtu malam (17/8).

Hingga kini masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Membela Legalitas belum surut. Mereka telah bertekad untuk terus berdemo besar-besaran hingga penguasa kudeta militer tumbang. Sebaliknya, militer dan pemerintahan bonekanya juga telah mengumumkan akan terus menumpas gerakan pro demokrasi yang mereka sebut sebagai teroris.

Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, kudeta militer di Mesir ini akan menjadi momok yang menakutkan bagi kelompok-kelompok Islam yang berjuang lewat sistem demokrasi. Berjuang secara damai melalui partai politik. Hal ini juga sekaligus memperkuat keyakinan kelompok-kelompok yang menempuh garis keras bahwa untuk merebut kekuasaan memang harus dengan kekerasan. Bila yang terakhir ini terjadi maka gerakan bawah tanah akan semakin subur, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Apalagi, Mesir yang merupakan negara terbesar di dunia Arab selama ini menjadi kiblat dari negara-negara di kawasan Timur Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement