REPUBLIKA.CO.ID, Peristiwa penting itu terjadi pada 28 Desember 1949 ketika bendera Belanda ‘si tiga warna’ diturunkan dari tiangnya. Merah Putih pun perlahan berkibar. Ratusan pasang mata yang memenuhi halaman dan tangga-tangga di muka istana ini terpaku pada tiang bendera dan sebagian meneteskan air mata haru. “Merdeka…merdeka…merdeka,” teriak kerumunan orang-orang tanpa henti. Teriakan itulah yang mengil hami nama bangunan itu, Istana Merdeka.
Istana ini mulai dibangun pada 1873 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Louden dan selesai pada 1879 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsbarge. Adalah arsitek Drossares yang merancang bangunan di atas tanah seluas 2.400 meter persegi ini.
Setelah penandatanganan naskah kedaulatan Republik Indonesia Serikat, nama tempat yang tadinya disebut Istana Gambir diubah menjadi Istana Merdeka. Tempat ini merupakan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Serambi depannya biasa digunakan untuk panggung kehormatan pada upacara peringatan detik-detik proklamasi setiap tanggal 17 Agustus.
Presiden juga menyambut tamu negara yang diterima dengan upacara militer di halaman depan Istana Merdeka. Malam hari setiap tanggal 17 Agustus, di dalam istana diadakan resepsi kenegaraan, saat kepala perwakilan negara-negara asing memberi ucapan selamat pada presiden.
Ruangan terbesar di Istana Merdeka adalah ruang resepsi. Terdapat pula ruang Jepara yang didominasi ukiran Jepara, ruang Raden Saleh, serta ruangan untuk meletakkan bendera pusaka setiap tanggal 16-17 Agustus.
Istana Kepresidenan Jakarta terdiri atas dua bangunan istana, yaitu Istana Merdeka, yang menghadap ke Taman Monumen Nasional, dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung, Jalan Veteran. Kedua istana ini dihubungkan dengan halaman tengah yang luasnya kira-kira sete ngah lapangan bola. Ada pula bangun an lain yang termasuk ke dalam lingkungan Istana Jakarta, yaitu Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan.
Sedangkan Istana Negara dibangun tahun 1796 untuk kediaman pribadi seorang warga negara Belanda JA van Braam. Pada 1816, bangunan ini diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediam an para Gubernur Jenderal Belanda.
Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya Yunani kuno itu bertingkat dua. Namun pada 1848 bagian atasnya dibongkar dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang.
Istana ini menjadi saksi bisu saat Jenderal de Kock menguraikan rencananya kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro. Juga saat Belanda merumuskan strategi dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Sistem tanam paksa atau cultuur stelsel yang dicetuskan Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch juga ditetapkan di gedung ini.
Setelah kemerdekaan, tanggal 25 Maret 1947, di Istana Negara terjadi penandatanganan naskah persetujuan Linggarjati. Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr Van Mook.
Kini Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan, di antaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan. Misalnya pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintah an Republik Indonesia, sudah lebih kurang 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Negara sebagai kediaman resmi.