REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Agama Islam dewasa ini seringkali dijadikan pembenaran terhadap berbagai gerakan radikal yang terjadi di Indonesia maupun negara lain di dunia. Gerakan radikal ini bahkan terus berkembang dan menimbulkan berbagai gejolak sosial di berbagai negara.
"Gejala ini bukan hanya terjadi secara nasional tetapi sudah menglobal," ujar mantan ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif saat menjadi pembicara dalam dalam bedah buku syariah "Reproduksi Ideologi Salafiyah di Indonesia" karya Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (25/7).
Menurut Syafii, di Indonesia misalnya kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) seperti pada kasus bentrok di Kendal karena pemahaman agama secara sepihak. Islam yang mereka tawarkan tidak pernah memberikan ruang diskusi karena dianggap paling benar.
Sementara organisasi Islam lain yang justru sudah besar seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Muhammadiyah, kata dia, disibukkan dengan amal usaha yang terlalu banyak.
Organisasi ini asyik sendiri dan seolah tidak pedui dengan persoalan sosial yang kian marak terjadi itu. "Bila kondisi ini diteruskan maka Islam akan menggali kubur sendiri di masa depan," tandasnya.
Buya menambahkan, Islam yang sangat kaku itu menjadi anti ilmu pengetahuan. Padahal Islam seharusnya berkemajuan dan mengikuti perkembangan jaman. "Islam yang berkemajuan dan bisa disandingkan dengan keilmuan," ujarnya.
Selain itu, lanjut Buya lagi, fenomena Gerakan Islam Syariat di berbagai daerah di Indonesia lebih pada keyakinan terhadap kredo bahwa ‘Islam adalah solusi’.
Gejala patologi sosial global yang terjadi di dunia seperti realitas sosial, politik, ekonomi, hukum, kondisi keamanan yang kacau dan morat marit, memberi peluang bagi tampilnya syariat Islam tersebut. “Hal ini juga yang dialami dan terjadi pada masyarakat Muslim di Indonesia,” tuturnya.