REPUBLIKA.CO.ID, PANGKALPINANG--Pemerintah dinilai sebaiknya meniadakan pemberian remisi, grasi dan asimilasi mengingat pengawasan dan pembinaan di lembaga permasyarakatan masih lemah. Pandangan itu disampaika pengamat hukum Aditya Sunggara.
"Selama ini pemberian remisi, grasi dan asimilasi menjadi objek bagi oknum petugas lembaga permasyarakatan (LP) untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," katanya di Pangkalpinang, Senin (22/7).
Menurut Ketua Babe Lawyer Club itu, pemberian keringanan hukuman selama ini cenderung menimbulkan kecemburuan sosial antarnarapidana di LP. Selain itu, pemberian keringanan hukuman juga tidak bersifat membina dan berkeadilan. Alasannya untuk narapidana yang memiliki materi bisa mendapatkan keringanan hukuman dengan memanfaatkan kelebihan materinya.
"Narapidana yang dijatuhi hukuman 10 tahun seharusnya menjalani hukuman 10 tahun, sehingga penegakan keadilan lebih optimal tanpa pandang bulu," ujarnya.
Ia mengatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Pemberian Remisi, Grasi, Asimilasi dan Konvensi Jenewa menyatakan semua narapidana memperoleh hak dasar yang sama tanpa diskriminasi dan berkeadilan.
"Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang PP ini atau memperbaharui sistem, manajemen dan peningkatan pengawasan yang ketat serta penindakan tegas terhadap oknum petugas LP yang memanfaatkan keringanan hukuman untuk berbuat KKN," ujarnya.