Senin 22 Jul 2013 04:13 WIB

Aturan THR Dinilai Lembek

Rep: Fenny Melisa/ Red: M Irwan Ariefyanto
Tunjangan Hari Raya (THR)
Foto: www.skalanews.com
Tunjangan Hari Raya (THR)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi, mendesak pemerintah merevisi aturan mengenai tunjangan hari raya (THR) bagi pekerja. Menurutnya, aturan lama tak memberi efek jera bagi perusahaan pelanggar pemberian THR.

Menurut Zuber, selama ini ketentuan mengenai THR diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja Nomor 4 tahun 1994. Permen tersebut masih menginduk pada Undang-Undang Pokok Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 1969 yang sudah dicabut dan digantikan dengan UU baru, yakni UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kelemahan utama dalam permen lama tersebut adalah kekosongan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan THR yang wajib dibayarkan kepada pekerjanya. Pasal 8 Permenaker Nomor 4/1994 menyebut, pelanggaran atas ketentuan THR diancam dengan hukuman sesuai Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 1969. Sedangkan, UU tersebut sudah tidak berlaku lagi. “Akibat kondisi tersebut, maka pengusaha memang diwajibkan memberi THR kepada pekerjanya, tetapi tidak ada sanksi bila tidak memberi THR, atau jumlahnya tidak sesuai, atau waktu pemberiannya mepet,” kata Zuber dalam rilis untuk media, Ahad (21/7).

Pelanggaran THR, menurut Zuber, terdiri atas tiga pokok, yakni tidak diberi dengan rekayasa (akal-akalan), jumlahnya tidak sesuai ketentuan, dan waktunya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pelanggaran pertama marak dilakukan oleh perusahaan outsourcing dan perusahaan yang mempekerjakan pekerja waktu tertentu (kontrak). Mereka banyak memberhentikan kontrak pekerjanya sebelum hari raya untuk menghindari pembayaran THR dan kerap mengangkat mereka kembali setelah Lebaran.

Ada pula pekerja yang tidak dibayarkan THR-nya dengan alasan masih dalam tahap masa percobaan. Padahal, ketentuan Permenaker Nomor 4/1994 menyebutkan, pekerja yang masih bekerja di bawah masa kerja 12 bulan tetap mendapat THR dengan besaran proporsional sesuai masa kerjanya.

Pelanggaran kedua, yakni soal besaran THR. Dalam Permenaker 4/1994, setiap pekerja berhak atas THR dengan besaran satu bulan gaji pokok ditambah dengan tunjangan tetap. Di lapangan, banyak kasus THR hanya dibayar sebesar gaji pokok saja, tanpa tunjangan tetap.

Selain itu, ketentuan gaji pokok ini seharusnya mengacu pada upah minimum. Sebab, dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, pengusaha dilarang membayar pekerja di bawah upah minimum.

Pelanggaran ketiga adalah soal waktu pembayaran THR. Permenaker 4/1994 mewajibkan pengusaha membayarkan THR maksimal H-7 sebelum lebaran. Tapi, kenyataannya, banyak THR pekerja baru dibayarkan pada H-2 atau bahkan H-1 sebelum lebaran.

“Yang paling parah adalah ketentuan tersebut mandul karena sanksinya tidak jelas, pemerintah hanya bisa maksimal menghimbau, tanpa bisa menindak. Seharusnya kondisi ini tidak dibiarkan berlarut,” ungkap Zuber.

Sebelumnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar menegaskan akan menindak perusahaan yang tidak membayarkan THR para pegawai/buruh. Sanksi mulai dari penyadaran, teguran, mediasi, sampai tuntutan hukum ke pengadilan. “Setiap pelanggaran hak normatif pekerja bakal dikenai sanksi tegas,\" kata Muhaimin pada keterangan pers yang diterima ROL.

Menurutnya Kemenakertrans akan melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pembayaran THR di pusat dan daerah, terutama aspek ketepatan waktu dan besaran nilai THR yang dibayarkan. Setiap pelaporan yang masuk ke posko pengaduan THR di Kemenakertrans dan di dinas-dinas tenaga kerja, kata dia, akan langsung ditindaklanjuti dan diselesaikan segera.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement