REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Pengamat sosial politik dan hukum dari Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin Dr H Mohammad Effendy SH, MH berpendapat, sulit menghilangkan politik uang (money politics) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.
"Dalam fenomena sosial politik dan kemasyarakatan belakangan ini, tampaknya sulit menghilangkan money politics, baik dalam Pemilu legislatif maupun Pemilu kapal daerah pilkada," ujarnya di Banjarmasin, Ahad (22/7).
"Apalagi dalam pola pikir masyarakat yang masih banyak bersifat pragmatis," lanjutnya di sela-sela buka puasa bersama Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) Kalimantan Selatan (Kalsel) di Graha Pasadena Kayu Tangi Banjarmasin.
Sebagai contoh masih ada di antara warga masyarakat yang lebih memilih bekerja cari duit daripada datang ke tempat pemungutan suara (TPS), terkecuali ada pula memberi penggati penghasilan, dan sikap tersebut menjadi peluang money politics.
Selain itu, persoalan pristise (harga diri) dari masing pimpinan partai politik (parpol) agar bisa meraih suara sebanyak-banyaknya supaya keluar sebagai pemenang, sehingga terkadang melakukan berbagai cara, lanjut pakar hukum tatanegara di Unlam tersebut.
"Tapi kalau cuma mengurangi money politics, masih memungkinkan, asalkan semua pihak berupaya keras bagaimana cara memberantas praktek yang melanggar hukum tersebut," tambah mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kalsel itu.
Namun mantan aktivis Pejalar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu menyambut positif terhada parpol yang tidak akan melakukan money politics pada Pemilu ataupun pemilihan presiden (pilpres) dan pilkada nanti.
"Memang money politics salah satu penyebab pelaksanaan Pemilu ataupun Pilpres dan Pilkada tak bersih, serta kurang berkualitas," demikian Mohammad Effendy.