Jumat 19 Jul 2013 17:39 WIB

Hukuman Tindak Pidana Dinilai Masih Belum Adil

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Djibril Muhammad
Hukum pidana
Foto: blogspot.com
Hukum pidana

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Hukuman tindak pidana di Indonesia dinilai masih belum adil. Deputi Penelitian Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, mengatakan hukuman bagi para pelaku tindak pidana masih belum adil, khususnya untuk koruptor.

"Orang dengan mudah memberikan pidana bagi tindak pidana yang ringan, seperti pencuri ayam. Hukumannya bisa 3 bulan penjara. Bagaimana hukuman yang diberikan kepada koruptor?," katanya di UGM, Jumat (19/7).

Menurut dia, alasan tersebut juga menyebabkan kapasitas penjara overcrowded. Rimawan mengatakan hukuman bagi para koruptor tidaklah sebanding dengan nilai uang yang dikorupsi. Sehingga, hukuman bagi para koruptor harusnya diberikan lebih adil.

Berdasarkan database korupsi putusan MA pada 2001-2009 tercatat sebanyak 549 kasus dengan 831 terdakwa. Sedangkan, pada data putusan MA pada 2001-2012, terdapat 1365 kasus korupsi dengan 1842 terdakwa.

Rimawan pun mengklasifikasikan koruptor menjadi lima macam, yakni koruptor kelas gurem kurang dari Rp 10 juta, koruptor kelas kecil Rp 10-99 juta, koruptor kelas sedang Rp 100-999 juta, koruptor kelas besar Rp 1-24,99 miliar, dan koruptor kelas kakap Rp 25 miliar lebih.

Namun, justru intensitas hukuman penjara yang diberikan kepada para koruptor kelas kakap lebih rendah dari pada kelas gurem. Ia menyebutkan koruptor yang mengkorupsi Rp 168,19 triliun akan mendapatkan hukuman finansial sebesar Rp 15,09 triliun atau hanya sekitar 8,97 persen dari nilai korupsi.

Rimawan juga mencontohkan terpidana Al Amin Nasution yang didenda Rp 200 juta atas kasus korupsinya. Menurutnya, denda tersebut hanya sekitar 0,2 persen dari nilai korupsi.

Berdasarkan hasil riset P2EB FEB UGM dari Putusan MA 2001-2012, koruptor rata-rata dijatuhi hukuman penjara 64,77 persen dari tuntutan Jaksa. Sedangkan, koruptor kakap dengan nilai korupsi Rp 25 M ke atas hanya dihukum penjara 5 tahun 9 bulan, dari tuntutan jaksa 10 tahun 5 bulan. Lama hukuman penjara yang diputuskan MA rata-rata akan turun 40 persen akibat remisi.

"Artinya koruptor dapat subsidi. Pesan yang disampaikan koruptor dari korupsi tersebut adalah santai saja hukumannya ada remisi," katanya. Nilai korupsi tersebut tambahnya, belum termasuk biaya oportunitas korupsi dan biaya antisipasi serta biaya reaksi terhadap korupsi.

Biaya oportunitas akibat korupsi tersebut yakni beban cicilan bunga di masa depan akibat korupsi di masa lalu. Sedangkan biaya antisipasi tindak korupsi merupakan biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten dan biaya akibat reaksi korupsi merupakan biaya peradilan, biaya penyidikan, dll.

"Lalu siapa yang membayar subsidi itu, ya anda-anda semua pembayar pajak. Di Indonesia terjadi pemberian subsidi dari rakyat kepada koruptor dan ini sesuai dengan amanah implisit UU Tipikor," jelasnya.

Menurut Rimawan, estimasi biaya sosial korupsi seharusnya dibebankan kepada para koruptor. Cara itu dinilai dapat memiskinkan para koruptor.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement