REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI -- Pasar tradisional diprediksi bakal kalah bersaing dengan pasar modern apabila pemerintah tidak segera melakukan pembenahan akan keberadaan pasar modern.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta Tata, saat mengisi diskusi dengan tema Perdagangan Antar Daerah serta Dampak Kenaikan Harga BBM, di Jambi, Kamis (18/7)
"Masalah pasar tradisional hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Dibangun tapi kemudian dilupakan, banyak pasar tradisional ada namun dilokasi pasar tidak ada pedagang, justru pedagangnya bertebaran dijalan sehingga menimbulkan kemacetan," ujar Tutum.
Ia menyebutkan, berdasarkan data Aprindo, pertumbuhan rata-rata ritel modern mencapai 17 persen pertahun. Sementara ritel tradisional hanya mencapai 10 persen pertahun.
Di Indonesia, rata rata pertumbuhan ritel pertahun mencapai 15 persen, dimana omset yang didapatkan dari tahun ke tahun terus meningkat tajam.
"Di 2009, omset ritel modern Rp 70 triliun, jumlah itu meningkat terus setiap tahun. Dimana pada 2012 mencapai Rp 135 triliun dan diperkirakan pada tahun 2013 ini mencapai Rp 150 triliun," jelasnya.
Tidak hanya itu, kata dia, ritel modern juga tumbuh lebih cepat dibanding ritel tradisional dan berkontribusi 38 persen dari total penjualan ritel nasional.
Dengan kondisi pertumbuhan masyarakat, ekonomi dan luas wilayah Indonesia, perkembangan ritel modern diprediksi akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu dicontohkan dengan banyaknya minimarket yang mulai masuk ke Kota Jambi.
"Jika pemerintah hanya bisa membangun pasar tanpa melakukan inovasi pengelolaan dan pemberdayaan pedagang pasar tradisional secara baik maka pasar tradisional bisa mati. Untuk di Jambi, saya prediksi jika tidak ada pembenahan, dalam kurun waktu 10 tahun kedepan, ritel modern akan membanjiri Kota Jambi," tambah Tutum.