REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang berbeda dengan ibadah puasa yang dijalani Nasrullah saat ini. Bencana banjir yang melanda Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, sejak Selasa (16/7), membuatnya harus menjalani puasa tahun ini dengan nuansa berbeda.
Tak ada menu berbuka yang segar terhidang di meja. Begitu pula kesibukan di dapur untuk menyiapkan menu sahur. Rumah orang tua Nasrullah berantakan bak kapal pecah. Lantai, kaca-kaca jendela, dan seluruh perabotan rumah tangga terendam air.
Pegawai di lingkungan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari ini pun tak masuk kantor. Di tengah suasana yang belum stabil itu, Nasrullah beserta enam penghuni rumahnya tetap menjalankan ibadah puasa. Ketika banjir datang pada Senin (15/7), pukul 02.00 WITA, mereka sekeluarga masih sempat memasak dan makan sahur bersama-sama di rumah.
Namun, setelah merampungkan sahurnya, air naik semakin tinggi hingga satu meter lebih. Ibu dan kakaknya yang sedang hamil diungsikan ke rumah tetangga yang berlantai dua. Banjir tak membuat mereka membatalkan puasa. Banjir yang melanda, kata Nasrullah, bagian dari ujian selama Ramadhan.
Hal yang jadi masalah adalah menjelang saat berbuka. Mereka tak mungkin memasak dalam kondisi rumah terendam air. Nasrullah pun mengontak kerabatnya di Kecamatan Puatu, yang jaraknya sekitar lima kilometer dari rumahnya.
Atas bantuan merekalah, keluarga Nasrullah akhirnya bisa berbuka puasa. "Buka dan sahur semuanya masih dimasak di rumah keluarga dan diantar ke sini, dibonceng pakai motor," ujarnya.
Di tempat lain, tepatnya di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, pengungsi banjir salah salah satunya terpusat Masjid Raya Kecamatan Tempe. Rosmini (56 tahun), satu di antara 60 keluarga yang kini berada di masjid itu. Ibu ini bersama tiga anaknya yang sudah berkeluarga tertampung di sana. Di masjid tersebut, menurut Rosmini, ada sekitar 100 orang pengungsi. Kebanyakan anak-anak dan perempuan.
Saat sahur tiba, para pengungsi mendapat jatah nasi kotak dengan lauk ayam dan telur. Begitu pula saat berbuka tiba, hidangan nasi kotak selalu tersedia. "Nasi kotak katanya dari anggota DPR dari Sengkang," kata Rosmini.
Kehadiran Rosmini di tengah para pengungsi memberikan hiburan lain, terutama saat berbuka tiba. Sehari-hari, Rosmini adalah pedagang jajanan pasar jalangkote, penganan sejenis pastel. Meski berada di tempat pengungsian, Rosmini tetap saja berjualan.
Umat Islam di Aceh juga melaksanakan puasa di pengungsian. Mereka belum bisa kembali ke rumahnya setelah gempa mengguncang kawasan Aceh Tengah, dua pekan lalu. Relawan Pos Kemanusiaan Peduli Umat (PKPU) Pusat, Suharjoni, mengatakan kondisi pengungsian masih memprihatinkan.
Mereka menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk menjalankan ibadah puasa, seperti menyiapkan sendiri sahur, shalat Tarawih, dan makanan berbuka puasa. "Saya lihat mereka masih puasa kecuali anak-anak," ujar Suharjoni yang berada di Aceh Tengah ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (17/7).
Selain menyiapkan sahur dan makan berbuka secara mandiri, para pengungsi juga mulai membangun sendiri rumah yang hancur dengan memanfaatkan bahan yang ada, seperti papan kayu dan seng. Rumah darurat yang layak huni sangat dibutuhkan pengungsi.
Anggota Tim Relawan PKPU Aceh, Didi Apriadi, mengatakan para pengungsi mengaku kurang maksimal menjalankan ibadah puasa tahun ini. Hal tersebut disebabkan kondisi tempat tinggal mereka dan tempat ibadah yang ada.
Koordinator relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Bayu Gawtama menambahkan, setelah dua pekan tanggap darurat, para pengungsi terutama anak-anak mulai diserang penyakit. Walaupun memprihatinkan, Bayu mengatakan, para pengungsi tetap menjalankan ibadah puasa meski dengan menu sekadarnya.
"Mereka mengatakan, dulu jika ada bencana, tempat ibadah seperti masjid, meunasah (mushala), mersah, menjadi tempat teraman. Tapi, sekarang hampir semuanya hancur. Mereka mengambil hikmah hancurnya tempat ibadah ketika bencana saat ini karena kurang dekat dengan Allah SWT,