Kamis 18 Jul 2013 07:00 WIB
Resonansi

Ramadhan dan Konsumerisme

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Seperti sudah diketahui, ibadah puasa Ramadhan mencakup latihan menahan diri dari godaan dan kuasa nafsu jasmaniah dalam berbagai bentuknya. Dengan begitu, kaum beriman yang berpuasa diharapkan dapat mencapai derajat atau maqam[at], posisi lebih tinggi sebagai muttaqin.

Masalahnya kemudian sepanjang bulan puasa Ramadhan, konsumsi kaum Muslim justru meningkat. Terlihat gejala kehidupan konsumtif, yang bukan tidak mencerminkan konsumerisme. Melihat kecenderungan ini telah muncul banyak kritik dari berbagai pihak.

Menurut definisi, konsumtif adalah tindakan mengonsumsi pangan, sandang, dan barang-barang terkait (consumer goods) lainnya lebih daripada sekadar kebutuhan yang wajar. Sedangkan, 'konsumerisme' sederhananya adalah cara pandang dunia, gaya hidup, atau gaya hidup konsumtif-kehidupan semata-mata untuk memaksimalkan konsumsi.

Peningkatan konsumsi sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri-termasuk prosesi mudik- dapat terlihat sejak dari peningkatan kebutuhan pangan. Hal ini terkait kenyataan bahwa banyak keluarga Muslim menyediakan makan sahur dan berbuka (iftar) lebih banyak dan lebih beragam daripada hari biasa. Karena itu, melimpahnya makanan iftar mengesankan dorongan 'balas dendam' setelah sehari penuh tidak mengonsumsi apa-apa.

Konsumsi pangan dan makanan lain juga meningkat tajam karena penyediaan takjil dan iftar di banyak tempat sejak dari masjid, mushala, lingkungan pertetanggaan, perkantoran, perusahaan, bahkan juga di mal dan restoran. Didorong ajaran bahwa 'orang yang menyediakan makanan berbuka (dan juga makanan sahur) mendapatkan pahala yang sama dengan mereka yang berpuasa', kian banyak kalangan masyarakat dengan rezeki berlebih menyediakan makanan takjil, iftar, dan sahur.

Peningkatan konsumsi juga terjadi dalam hal sandang sejak dari berbagai macam pakaian, baju koko, busana Muslimah sampai sarung, mukena, peci dan seterusnya. Tradisi 'berlebaran dengan pakaian baru' di kalangan masyarakat Muslim Indonesia membuat kebutuhan menjadi berlipat ganda, apalagi masih cukup banyak warga yang membeli baju baru hanya sekali setahun, persisnya pada waktu Lebaran.

Dalam peningkatan konsumsi pangan dan makanan lain serta sandang, berlakulah hukum ekonomi: kian banyak permintaan (demand) pasar, sedikit ketersediaan stok, kian meningkat pula harga-harga. Di Tanah Air, kenaikan harga pangan, makanan, dan sandang hampir tidak terkendali. Negara gagal mengendalikan harga dan menyediakan pasokan pangan dan makanan, khususnya untuk memenuhi konsumsi yang terus meningkat.

Padahal, peningkatan konsumsi belaka tanpa kenaikan harga secara signifikan sekalipun sebenarnya telah mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan bagi negara. Karena by definition, kenaikan konsumsi sangat baik bagi pertumbuhan ekonomi, yang selalu diklaim pemerintah sebagai tanda keberhasilannya.

Terlepas dari soal kegagalan pemerintah itu, dalam peningkatan konsumsi sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri agaknya perlu dibuat pemisahan di antara peningkatan konsumsi karena dorongan perintah agama dengan tindakan konsumtif belaka. Berdasarkan motivasi keagamaan, peningkatan konsumsi dalam kategori pertama jelas tidak dapat disebut sebagai perilaku konsumtif-apalagi didorong pandangan dunia konsumerisme.

Dalam konteks itu, peningkatan konsumsi yang merupakan konsekuensi perintah agama, seperti menyediakan pangan, sandang, dan sebagainya untuk kaum fakir, miskin, yatim-piatu dan dhuafa, sebaliknya mesti didorong. Semakin meningkat realisasi perintah Islam dalam hal ini, justru kian baik.

Namun, pada saat yang sama penting ditekankan agar realisasi perintah Islam tersebut tidak menimbulkan ketergantungan konsumtif kaum fakir miskin dan dhuafa. Terdapat gejala cukup observable bahwa di antara mereka ada orang-orang yang memanfaatkan melimpahnya konsumsi yang disediakan lebih untuk pemenuhan kepentingan konsumtif daripada guna tujuan lebih jauh. Karena itulah, peningkatan konsumsi tersebut dari segi ini gagal mencapai tujuan pemberdayaan kaum fakir miskin dan dhuafa.

Peningkatan konsumsi dalam kategori kedua di antara kaum Muslim Indonesia perlu diwaspadai. Sulit diingkari menguatnya gejala peningkatan perilaku konsumtif di kalangan kaum Muslim kelas menengah dan kelas atas. Perilaku konsumtif secara kasat mata dapat dilihat dari berbagai gejala, seperti selalu padatnya mal dan pusat-perbelanjaan barang mewah lainnya.

Perilaku konsumtif dan konsumerisme yang hanya mengikuti hawa nafsu belaka jelas tidak sesuai dengan ajaran pengendalian diri yang ditekankan dalam ibadah puasa dan banyak ibadah lain. Sejauh soal konsumsi, Islam mengajarkan kesederhanaan, berlebihan dalam hal ini termasuk perbuatan tabzir-sia-sia belaka, tapi dapat mengandung dampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan bahkan lingkungan alam. Karena itu, sangat mutlak adanya pengendalian konsumsi sepanjang Ramadhan dan pascapuasa nanti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement