Selasa 16 Jul 2013 15:55 WIB

'Cabai Rawit Mahal, Pemprov Kurang Antisipasi'

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: A.Syalaby Ichsan
Harga cabai rawit merah di Depok melonjak setelah kenaikan harga BBM pada Jumat (20/6) lalu.
Foto: mg06/Rahmi Suci Ramadhani
Harga cabai rawit merah di Depok melonjak setelah kenaikan harga BBM pada Jumat (20/6) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kenaikan harga cabai rawit di pasar yang cukup tinggi, dinilai dewan sebagai bukti kalau pemerintah tidak serius dalam mengatasi masalah pangan yang dibutuhkan rakyat.

Menurut Ketua Komisi B DPRD Jabar, Selly A Gantina, ternyata salah urus pemerintah pusat tersebut diikuti juga oleh Pemprov Jabar. Karena, tidak melakukan tindakan antisipasi maupun perlindungan kepada para Petani holtikultura.

''Seharusnya, Pemprov melindungi petani  dengan membuat aturan agar usaha mereka tetap berjalan dan berputar,'' ujar Selly kepada wartawan, Selasa (16/7). 

Saat ini, kata dia, anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov Jabar untuk bidang pertanian Holtikultura relatif sangat kecil kalau dibandingkan dengan pertanian sektor pangan dan palawija.

Perbandingannya sangat jomplang. Bidang pangan, bisa dianggarkan sebesar Rp 20 miliar lebih. Sementara holtikultura, hanya Rp 1 miliar. ''Akhirnya, seperti ini lah dampaknya. Kita, tidak pernah bisa memenuhi kebutuhan pangan dari sektor holtikultura sehingga harus menimport sayuran, buah-buahan bahkan pangan seperti beras,'' katanya.

Selly mengatakan, kesalahan Pemprov Jabar adalah mengikuti apa yang terjadi pada Departemen Pertanian. Oleh karena itu, sudah seharusnya Pemprov Jabar mulai mengevaluasi secara berimbang jenis anggaran yang harus dibiayai disetiap bidang di OPD (organisasi perangkat daerah)- nya masing-masing.

Sebenarnya, kata dia, kalau petani pangan seperti padi nilai jual hasil produksinya sudah diikat oleh HPP. Sehingga, saat panen raya para petani padi tidak pernah jatuh kecuali ada permainan di tengkulak dihilirnya.

Berbeda dengan padi, kata dia,  holtikultura tidak memiliki aturan yang memproteksi hasil produksi mereka sehingga akhirnya banyak yang merugi. Bahkan, mereka memilih beralih pekerjaan dan menjual lahannya. Padahal, lahannya adalah lahan produktif.

''Tapi kan mereka butuh uang agar bisa bertahan hidup disaat beban perekonomian sangat tinggi,'' katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement