Jumat 05 Jul 2013 12:54 WIB

Berbahaya, BPOM Larang Konsumsi Minuman Energi Red Bull

Minuman energi
Foto: guardian.co.uk
Minuman energi

REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Batam mengimbau seluruh masyarakat Kepulauan Riau agar tidak mengkonsumsi minuman energi Red Bull buatan Thailand yang tidak terdaftar di BPOM karena berbahaya untuk kesehatan.

"Kandungan kafein yang tertera dalam komposisi Red Bull sangat tinggi yakni 80 mg per kemasan atau setara dengan lebih dari delapan gelas kopi kental," kata Deputi II Badan Badan POM RI Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk T Bahdar J Hamid di Batam, Jumat (5/7).

Ia mengatakan jika dikonsumsi masyarakat secara berlebihan, maka akan menimbulkan keracunan kafein yang bersifat akut, hipertensi, jantung disritmic dan kejang-kejang. Red Bull Energy Drink mengandung 80 mg kafein per kemasan. Padahal berdasarkan persyaratan yang ditetapkan BPOM, batas maksimum kandungan kafein adalah 50 mg per kemasan.

Di tempat yang sama, Kepala BPOM Batam I Gusti Ayu Adhi Aryapatni mengatakan Red Bull produksi Thailand itu banyak beredar di kabupaten dan kota di Kepri. BPOM menemukan 1.296 kaleng Red Bull yang dijual oleh 141 sarana. BPOM langsung memerintahkan penjual memusnahkan minuman yang dapat memicu kerja jantung lebih cepat. "Kami tidak ingin masyarakat menjadi korban, makanya selain dari supply, kami juga berupaya menekan 'demand' masyarakat, agar tidak mengkonsumsi Red Bull," kata dia.

Kepala Pusat Penyidikan BPOM RI Hendri S mengatakan selain di Kepri, Red Bull berbahaya juga ditemukan di Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung. "Di Pangkal Pinang saya temukan 1.600 kaleng, barangnya masuk dari Tanjungpinang," kata dia.

BPOM juga meminta seluruh pelaku usaha tidak lagi mengimpor, mengedarkan atau menjual Red Bull Energy Drink yang belum terdaftar di BPOM demi keselamatan masyarakat.

Berdasarkan UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 197, setiap orang yang mengedarkan farmasi yang tidak memiliki izin edar terancam pidana maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement