REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Akbar Wijaya/ Wartawan Republika
Sulit rasanya dipungkiri bahwa sampai sekarang belum ada pemimpin Indonesia yang kharisma kepemimpinannya menyamai Bung Karno. Kharisma Bung Karno masih disejajarkan dengan pemimpin-pemimpin kaliber dunia macam Fidel Castro, Nelson Mandela, JF. Kennedy, Mao Tse Tung, Gamal Abdul Naseer, dan Jawaharlal Nehru.
Pertanyaannya adalah “Dari mana kharisma kepemimpinan Bung Karno berasal?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu bagi kita memahami definisi kharisma dalam konteks ilmu sosial. Max Weber, sosiolog terkemuka Jerman mendefinisikan kharisma sebagai kekuatan yang mampu membuat seseorang unggul sekaligus berbeda dari orang biasa pada umumnya.
Acap kali, kata Weber, kekuatan ini diidentikan dengan hal-hal yang bersifat supernatural dan ketuhanan. “Kharisma dianggap bersumber dari Tuhan dan atas dasar itu individu bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin,” tulis Max dalam The Theory of Sosial and Economic Organization.
Kharisma kepemimpinan, ujar Weber, dapat bersumber dari beberapa faktor: keturunan, hubungan darah (genealogis), dan institusi. Dari sisi keturunan, kharisma kepemimpinan Bung Karno berasal dari kedua orang tuanya. Dalam Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno mengatakan kedua orang tuanya mewarisi darah bangsawan. Ayahnya adalah keturunan terakhir Raja Kediri. Sedangkan ibunya masih kerabat dekat Raja Buleleng terakhir.
Dari sisi genealogis, kharisma kepemimpinan Bung Karno tercermin lewat tampilan fisik yang dimilikinya. Jules Archer dalam Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran mengakui keunggulan fisik Bung Karno. Menurutnya fisik Bung Karno melebihi rata-rata orang Indonesia pada masanya.
Bung Karno, kata Archer, memiliki postur tubuh tinggi tegap, wajah tampan, senyum simpatik, dan sorot mata yang tajam. Tampilan ini, kata Archer, memberi kesan segan dan berwibawa pada orang-orang yang baru pertama kali bertemu dengan Bung Karno. “Sedangkan bagi rakyat, keunggulan ini juga memberikan rasa bangga; bahwa orang bumi putera, secara fisik, tidak selamanya kalah dari orang-orang Eropa,” tulis Archer.
Dalam konsep Weber, kharisma yang bersadar pada garis keturunan dan genealogis biasanya tidak bertahan lama. Kharisma keturunan dan genealogis akan segera hilang ketika individu yang bersangkutan gagal mengartikulasikan keyakinan masyarakat terhadap dirinya lewat tindakan-tindakan kongkrit.
“Kharisma keturunan harus dibarengi dengan kemampuan pemimpin menjawab persoalan masyarakatnya,” kata Weber.
Seolah menyadari konsep Weber, Bung Karno tidak hanya mengandalkan garis keturunan dalam memimpin. Dia berupaya menunjang kharisma dasar yang dimilikinya lewat berbagai cara. Salah satunya dengan mempelajari banyak buku. Dari berbagai buku yang dibaca, Bung Karno bisa dengan mudah – tanpa terbata-bata – memadupandakan gagasannya dengan pemikiran tokoh dunia dalam pidatonya.
Tak cuma lewat pemikiran, Bung Karno juga berupaya meningkatkan kharisma keturunan dan genealogisnya lewat praktik hidup sehari-hari. Ini tercermin lewat sikap-sikap egaliter yang dimiliki Bung Karno. Dia misalnya tidak segan-segan terjun langsung menemui rakyatnya demi untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai nasib mereka di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Egalitarianisme Bung Karno juga tecermin dari sikap penolakannya terhadap berbagai bentuk elitisme dan feodalisme Budaya Jawa. Dalam pertemuan tahunan Jong Java Februari 1921, Bung Karno secara tegas menolak segala bentuk pemisahan kelas yang tercermin dalam Bahasa ngoko dan kromo.
Sementara itu, faktor institusi sebagai determinan munculnya kharisma Bung Karno, muncul saat dia menjadi ketua PNI, ketua PPPKI, dan Presiden Indonesia. Dalam jabatannya sebagai ketua PNI dan PPPKI, kharisma Bung Karno hadir lewat seruan-seruannya menyatukan tiga golongan besar yang ada di Indonesia (Islam, Nasionalis, Marxis). Seruan-seruan agar ketiga aliran itu tidak membesar-besarkan perbedaan membuat kepemimpinan Bung Karno relatif diterima golongan.
Saat menjabat sebagai presiden kharisma kepemimpinan Bung Karno ditunjang melalui hal-hal yang bersifat simbolik. Bung Karno misalnya dikenal gemar menggunakan gelar-gelar kepangkatan yang diberikan kepadanya: mulai dari pemimpin besar revolusi, paduka yang mulia, mandataris MPRS, hingga Pemimpin Tertinggi ABRI.
Gelar-gelar itu diperkuat Bung Karno lewat cara berpakaian. Di akhir masa kepresidenannya Bung Karno kerap terlihat menggunakan seragam militer lengkap dengan berbagai gelar kepangkatan. Cara ini konon dia lakukan untuk menjaga loyalitas ABRI terhadap dirinya.
Kembali ke Weber. Menurut Weber otoritas kharismatik dapat lenyap, jika bukti pemimpin gagal menyelaraskan kualifikasi kharismatiknya dengan persoalan zaman dalam jangka waktu yang panjang. Dalam konteks ini kharisma kepemimpinan Bung Karno tampak memudar pascapemberontakan G-30-S 1965. Ada dua faktor penting yang menjadi penyebab memudarnya kharisma kepemimpinan Bung Karno.
Pertama, Bung Karno gagal menyelesaikan persoalan utama masyarakatnya. Dia terlalu asik dengan slogan-slogan revolusionernya sampai-sampai melupakan lonjakan harga bahan-bahan pokok di pasaran.
Kedua, citra positif yang dibangun Bung Karno rusak oleh pemberitaan negatif pers. Masyarakat dalam waktu yang singkat dan massif hanya disuguhkan informasi sepihak: kegagalah Bung Karno!
Dari Bung Karno hendaknya kita belajar bahwa kharisma kepemimpinan tidak bisa dibentuk lewat legitimasi-legitimasi verbal. Kharisma tidak lahir lewat pidato-pidato retoris atau sekadar pekik merdeka. Kharisma hanya akan lahir dan bertahan lewat kemampuan seorang pemimpin menyelaraskan keunggulan dirinya dengan problema masyarakat. Tanpa itu, kharisma tak lebih dari sekadar citra belaka.