Jumat 28 Jun 2013 14:30 WIB

'BLSM Hanya Obati Gejala, Tak Mampu Membasmi Penyakit'

  Petugas melayani warga yang mengambil uang Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di Jakarta, Sabtu (22/6).  (Republika/Aditya Pradana Putra)
Petugas melayani warga yang mengambil uang Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di Jakarta, Sabtu (22/6). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kepada masyarakat terkategori miskin menuai pro dan kontra.

Calon anggota DPD daerah pemilihan DKI Jakarta, Rommy menilai, pembagian BLSM yang sering disebut Balsem tak lebih dari sekadar “obat luar”. ''Panas dan efektif sesaat, setelah itu efeknya hilang," ujarnya Jumat (28/6).

Menurut dia, BLSM tak ubahnya seperti obat untuk mengatasi “symptom” alias gejala, tak mampu membasmi akar penyakitnya. ''Masyarakat sih pasti seneng-seneng aja kalau dikasih bantuan, apalagi berupa uang,'' tuturnya.

Ia berpendapat jumlah dan masa pemberian uang yang dikemas dalam program BLSM itu tidak cukup memadai jika dikaitkan dengan ide bahwa kebijakan itu bertujuan untuk menyesuaikan psikologi masyarakat terhadap gejolak kenaikan harga barang-barang akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

''Selain kisruh soal ketepatan sasaran penerimanya sebagaimana terjadi di beberapa daerah termasuk di DKI Jakarta, ide “pro-poor” dibalik kebijakan ini masih jauh dari ideal,'' ungkap Rommy.

Dalam konteks ini, kata dia, gagasan tentang kebijakan anggaran yang memihak orang miskin (pro-poor budget) sebetulnya memang penting dan harus dilakukan. Tapi, lanjut Rommy, kebijakan itu harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari sekian banyak kebijakan yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan secara menyeluruh.

''Meskipun pertimbangannya khusus karena kenaikan harga BBM, sekarang kan BLSM seperti sebuah kebijakan terpisah, tidak melekat pada satu gagasan atau kebijakan besar tertentu dalam rangka pengentasan kemiskinan yang simultan,'' kritik Rommy.

Celakanya, kata dia, pemerintah malah seolah-olah merasa BLSM adalah kebijakan terbaik dan karenanya harus dilakukan. Padahal, imbuh Rommy, banyak cara lain yang sebetulnya bisa diambil seperti penaikan cukai rokok, atau pengurangan anggaran pengeluaran di beberapa lembaga negara.

Rommy menegaskan, tujuan akhir kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan mengangkat harkat dan martabat mereka agar menjadi warganegara dengan seluruh hak dan kewajibannya.

“Nah, di banyak kejadian iming-iming BLSM justru cenderung merendahkan harkat itu. Hanya  karena ingin dapat dana itu, banyak masyarakat yang sebetulnya “mampu” tiba-tiba ingin disebut orang miskin," katanya.

Ia mengusulkan salah satu strategi  terpenting yang harus ditempuh adalah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi orang miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam proses pembangunan ekonomi.

''Mestinya yang jadi prioritas misalnya penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur di berbagai bidang khususnya di wilayah-wilayah pedalaman terpencil, serta jaminan warga Negara terhadap pendidikan dan kesehatan. Dengan begitu masyarakat akan punya akses terhadap proses pembangunan dan hasil-hasilnya,'' paparnya  menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement