REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto meminta pemerintah menaikkan harga solar sama dengan premium bersubsidi menjadi sebesar Rp 6.500 per liter.
"Jangan dibedakan, sama rata saja baik solar maupun premium yakni Rp 6.500 per liter," katanya di Jakarta, Selasa.
Menurut Direktur ReforMiner Institute itu, rencana kenaikan harga solar yang lebih rendah dibandingkan premium merupakan kebijakan yang salah. "Harga solar yang lebih murah tetap memicu penyelewengan baik ke industri ataupun ke luar negeri," katanya.
Di samping itu, bahan bakar solar lebih polutif dibandingkan premium, sehingga tidak rasional kalau harganya lebih murah.
Dengan harga murah, lanjutnya, maka pembelian kendaraan berbahan bakar solar bakal lebih banyak lagi, sehingga makin meningkatkan penggunaan solar dan pada akhirnya tingkat polusinya.
"Pemerintah mesti mengkaji lagi rencana kenaikan harga yang berbeda itu," katanya.
Pemerintah berencana menaikkan harga premium dari saat ini Rp4.500 menjadi Rp6.500 per liter dan solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter.
Dengan harga keekonomian premium dan solar yang relatif sama, maka angka tersebut menunjukkan pemakaian bahan bakar diesel mendapat subsidi yang lebih besar. Harga premium dan solar yang berbeda diterapkan di India pada 2010 dan belakangan menimbulkan masalah.
Pada Mei 2010, Pemerintah India mencabut subsidi premium dan tetap mempertahankan subsidi solar. Akibat kebijakan tersebut, penjualan kendaraan berbahan bakar solar tumbuh pesat sehingga pemakaian solar juga naik.
Data Society of Indian Automobile Manufacturers (SIAM), pada kurun waktu 2012-2013 penjualan kendaraan solar meningkat 35 persen, sementara kendaraan premium turun 15 persen.
Peningkatan pemakaian solar membuat negara tersebut makin dimasalahkan pencemaran lingkungan. Akhirnya, India mengurangi subsidi solar secara bertahap sejak April 2013.
Kini harga solar di India adalah 48 rupee per liter dan premium tercatat 66 rupee per liter.