REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghargaan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang diterima Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Roma, Italia, Ahad (16/6), harus dijadikan momentum untuk lebih meningkatkan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Beberapa hal mendasar seperti perhatian kepada sector pertanian, masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ pemerintah dalam menyejahterakan rakyat.
Penegasan tersebut disampaikan kalangan pengamat social ekonomi, pangan dan pertanian, saat dimintai komentar seputar penghargaan FAO yang diterima Indonesia. Bersama beberapa Negara, Indonesia dianggap berhasil mencapai target Milenium Development’s Goals (MDGs) yang dicanangkan lembaga PBB tersebut. Selain mencatatkan pengurangan kemiskinan yang lebih tinggi dari target MDGs, Indonesia juga mencatat pencapaian target World Food Summit (WFS) yang lebih tinggi dari target.
“Itu prestasi yang cukup membanggakan,” kata Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan-Badan Ketahanan Pangan Nasional, Cuk Eko Hari Basuki, saat dihubungi, Selasa (18/6). Menurut Cuk, semua itu menegaskan bahwa koordinasi kerja antarlembaga di pemerintah berjalan cukup baik dan sinergis.
“Itu kan hasil kerja bersama, bidang Pertanian, ekonomi dan lain-lain,” kata Cuk. Ia optimistis, bila koordinasi baik yang telah berjalan baik itu terus berlanjut, ke depan kondisi kesejahteraan rakyat bisa lebih baik lagi.
Berbeda dengan Cuk, pengamat pertanian, Khudori, melihat penghargaan itu sedikit skeptis. Menurut Khudori, penurunan kemiskinan absolut dari 37 juta orang menjadi 21 juta orang tahun 2012, atau mencapai sekitar 43 persen memang menjadi prestasi tersendiri. Persoalannya, menurut Khudori, angka itu merupakan angka kemiskinan absolute.
“Itu kelaparan secara kadat mata atau kelaparan absolute. Tetapi kelaparan yang tak kasat mata dalam arti kekuarangan zat energy dan protein masih terbilang besar. Itulah pekerjaan rumah bangsa ini ke depan,” kata Khudori. Ia mewanti-wanti, karena kelaparan jenis itu sangat krusial terhadap masa depan bangsa, karena akan muncul sebagai masalah setelah rentang waktu yang panjang.
Saat ditanya peluang kembalinya Indonesia sebagai Negara swasembada beras sebagaimana awal 1980-an, Khudori menegaskan peluang itu sangat besar. Ia menunjuk, dengan rata-rata konsumsi beras 113 kg per orang per tahun sebagaimana data BPS, Indonesia berpeluang besar surplus beras. “Tidak perlu menunggu 2014 untuk bisa surplus 10 juta ton per tahun,” kata Khudori.
Keyakinan soal swasembada itu juga dinyatakan Cuk. Cuk bahkan mengatakan, peluang swa sembada beras besar sekali. Pasalnya, dari sisi benih saja produktivitas Indonesia masih bisa digenjot. Belum lagi dalam hal lahan pertanian pun potensinya masih sangat besar.
“Di atas kertas, soal swa sembada itu mudah,” tegas Cuk. Persoalannya barangkali sebagaimana ditegaskan Khudori, yakni berkaitan dengan kemungkinan perputaran rente ekonomi via izin impor di sisi itu. Hal itu bisa marak karena menurut Khudori, soal itu tak banyak yang mengawasi, tidak sebagaimana APBN, misalnya.
Sementara untuk memastikan swa sembada beras tersebut, pengamat sosial ekonomi pertanian dari Universitas Bengkulu, Ketut Sukiyono, mewanti-wanti pemerintah untuk lebih member perhatian kepada sector pertanian. Menurut Ketut, cara itu bisa dilakukan dengan mencegah alih fungsi lahan, menggiatkan pembangunan infrastruktur pertanian, serta memberikan berbagai insentif kepada petani. “Pemerintah hasil pemilu 2014 sebaiknya pemerintah lebih berpihak pada pertanian,” kata Ketut.
Sebagaimana diketahui, pada Ahad (16/6) lalu Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, menerima penghargaan FAO di Roma, Italia. Lembaga Pangan dan Pertanian PBB itu memberikan penghargaan kepada Indonesia yang dinilai telah berhasil mencapai target MDGs poin 1 dengan menurunkan proporsi tingkat kelaparan dari 19,9 persen di tahun 1990 – 1992 menjadi 8,6 persen pada tahun 2010 – 2012.
Prestasi ini melebihi penurunan angka proporsi yang ditargetkan dalam MDG yaitu sebesar 9,9 persen. Target MDGs poin 1 adalah pengentasan kelaparan melalui pengurangan proporsi jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengah dari tahun 1990-2015.
Direktur Jenderal FAO, Jose Graziano Da Silva mengatakan, penghargaan itu diberikan kepada Indonesia atas keberhasilan sebagian target Tujuan Pembangunan Milenium (MIllenium Development Goals atau MDG) lebih awal dari waktunya.
"Indonesia dianggap berhasil mengurangi jumlah populasi penduduk kekurangan gizi yang mencapai 20 persen pada 1999, dan pada tahun ini kurang dari 9 persen . Selain itu Indonesia juga dianggap berhasil mengkombinasikan program peningkatan produksi makanan dan pemberian proteksi sosial kepada yang mereka membutuhkan sekaligus," kata Da Silva, saat berkunjung ke Jakarta, Mei lalu.
Menurut Da Silva, Indonesia adalah kisah sukses dimana bukan saja jumlah pangan ditingkatkan, tapi juga akses terhadap pangan. Karena itu, tak hanya menerima penghargaan, Indonesia juga diundang untuk berbagi kisah sukses kepada negara-negara lain.