Selasa 18 Jun 2013 06:00 WIB

Sosiolog: Dana Kompensasi BBM Jangan Dikorupsi!

Program kompensasi kenaikan BBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT). (ilustrasi)
Foto: Antara
Program kompensasi kenaikan BBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina, M.Si menegaskan bahwa dana kompensasi sebagai konsekuensi kenaikan harga bahan bakar minyak harus dipastikan tidak dikorupsi.

"Fokus masyarakat adalah harus memastikan dana-dana kompensasi BBM, seperti ke pengembangan beasiswa sebesar Rp 6 triliun, itu yang harus dicermati," katanya di Jakarta, Selasa (18/6).

Memberikan ulasan mengenai kenaikan BBM, ia menegaskan bahwa masyarakat harus kritis melihat hal ini. "Mau tidak mau atau suka tidak suka, masyarakat harus menerima kenaikan harga BBM. Akan tetapi saya kira fokusnya adalah harus memastikan dana-dana kompensasi BBM itu memang sampai kepada yang berhak," kata anggota peneliti Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.

Jangan sampai, katanya menegaskan, dana-dana tersebut dikorupsi lagi karena sebenarnya di tengah persoalan degradasi moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat tajam, aspek pendidikanlah yang diharapkan bisa menjadi kekuatan penggerak perubahan sosial menuju cita-cita bangsa, yakni keadilan dan kesejahteraan sosial.

Untuk itu, kata dia, masyarakat sekali lagi harus kritis menilai manuver-manuver elite politik dalam kebijakan kenaikan BBM ini.

"Jangan sampai masyarakat diperalat oleh partai ataupun pemerintah untuk memproteksi kepentingan mereka," kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu.

Menurutnya, tarik ulur kebijakan kenaikan harga BBM di antara fraksi DPR dan pemerintah mencerminkan bahwa perlunya refleksi terhadap pencapaian pembangunan demokrasi di Indonesia. Ia mengemukakan kondisi masyarakat, khususnya elite politik sebenarnya belum siap untuk mengimplementasikan pemerintahan yang parlementer.Secara teoritis, kata dia, sebenarnya pemerintahan yang bersifat parlementer memang membutuhkan pemerintahan yang kuat.

"Sedangkan realitas yang ada dalam kehidupan bernegara kita, pemerintah sekarang kedudukannya tidak kuat, dan anggota DPR kita tidak paham tentang demokrasi Pancasila sehingga rakyat selalu menjadi korban," katanya.

Ia menambahkan tarik-menarik atau manuver yang dilakukan oleh pemerintah dan parpol dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM lebih kepada penyelamatan kepentingan dan mempertahankan kekuasaan mereka.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement