Kamis 13 Jun 2013 14:06 WIB
Resonansi

Dekolonialisasi Perguruan Tinggi

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra

Judul Resonansi kali saya pinjam dari makalah Profesor Satryo Soemantri Brodjonegoro, mantan direktur jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Kemendikbud, pada Seminar Sehari dan Kongres I Asosiasi Profesor Indonesia (API) awal Juni 2013. Menyampaikan makalah dalam sesi I bersama Profesor A Malik Fadjar, mantan menag dan mendiknas; dan Paul Suparno SJ, Satryo melihat, pendidikan tinggi (PT) Indonesia bukan kian otonom, tetapi sebaliknya mengalami kolonialisasi yang kian membelenggu.

Karena itu, kebutuhan mendesak sekarang ini adalah melakukan ‘dekolonialisasi’ PT. Jika tidak, PT Indonesia sulit diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam pembangunan dan kemajuan Indonesia.

Banyak gejala dan indikasi kolonialisasi yang terjadi di PT Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Untuk menyebut beberapa contoh jelas saja, ‘kolonialisasi’ itu terlihat dalam ketentuan dan praktik pemilihan rektor PT negeri (PTN). Berbeda dengan pemilihan calon rektor sebelumnya —bahkan zaman Orba yang otoriter sekalipun, kini prosesnya dimulai dengan pengajuan bakal calon rektor lebih dulu ke Mendikbud untuk mendapat persetujuan sebelum dipilih senat PTN bersangkutan.

Proses pemilihan tiga calon rektor berakhir dengan rapat senat di mana Mendikbud memegang 35 persen suara, yang biasanya diberikan secara arbitrary atau disgresi kepada calon tertentu dengan pertimbangan yang bukan tidak bersifat politis dan sektarian. Yang tidak kurang membelenggu adalah ketentuan sangat rigid untuk kenaikan pangkat akademis ke lektor kepala dan apalagi ke guru besar.

Para dosen maklum dan mendukung keinginan pemerintah —dalam hal ini Kemendikbud— untuk meningkatkan kualitas dosen dan sekaligus PT. Tetapi, berbagai ketentuan tidak masuk akal, membuat hampir terhentinya mobilitas dosen lektor kepala menjadi guru besar. Sementara itu kian banyak guru besar yang pensiun. Akibatnya, jumlah guru besar yang perlu untuk peningkatan nilai akreditasi dan ranking PT kian tidak memadai.

Lalu ada lagi penyelenggaraan ujian masuk PT negeri yang pada dasarnya disentralisasikan di bawah Kemendikbud melalui SNMPTN, PTN hanyalah menjadi penyelenggara. Bagian terbesar penerimaan calon mahasiswa melalui jalur ini. Sedangkan jalur undangan dan mandiri yang dilaksanakan PTN secara bersama atau sendiri-sendiri menerima calon mahasiswa hanya dalam jumlah lebih kecil.

Berbagai ketentuan dan praktik tersebut jelas tidak selaras dengan konsep dan semangat otonomi PT. Sebaliknya, pengambil kebijakan pendidikan tinggi mencurigai alias tidak memercayai PT dapat menjalankan otonominya. Karena itulah Kemendikbud menetapkan berbagai ketentuan yang pada gilirannya membelenggu PT, baik di bidang akademik maupun nonakademik.

Karena PT tidak otonom, dengan kebebasan akademik yang terbelenggu, tidak heran kalau kreativitas dan daya inovasi ilmuwan PT tidak berkembang baik. Menurut Satryo, jika PT tidak dikekang dan sebaliknya diberi ruang gerak luas untuk mengekspresikan diri dan berkarya, PT dengan cepat dapat menjadi lokus inovasi. Secara retoris Malik Fadjar mempertanyakan, apakah dengan kondisi seperti itu PT bisa melahirkan tenaga profesional dan calon pemimpin bangsa.

Dalam pandangan Satryo, untuk dapat berkembang pesat PT memerlukan otonomi yang diwujudkan melalui status badan hukum. Dengan cara begitu, PT menjadi otonom dan mandiri dan tidak di bawah kolonialisasi kementerian. Proses kolonialisasi yang terus berlanjut, menurut Satryo, menunjukkan pemerintah tidak memiliki political will memajukan PT. Padahal, di negara-negara maju, PT-nya mampu meraih mutu internasional karena otonom, akuntabel, dan dibiayai pemerintah.

Sebab itu, jika Indonesia menginginkan PT maju dan bermutu internasional, pemerintah wajib mendanai PT yang telah otonom dan akuntabel. Kenyataannya pemerintah tidak mendanai PT —dan juga pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) secara penuh. Pemerintah menyediakan hanya sekitar 50 sampai 80 persen kebutuhan dana PT, yang sebagian besar untuk kebutuhan rutin, seperti gaji dan pemeliharaan. Selebihnya harus diusahakan PT sendiri lewat kontribusi masyarakat berupa uang masuk/pangkal, SPP, dana laboratorium, biaya praktik, dan seterusnya.

Lebih parah lagi, banyak mata anggaran PT akhir-akhir ini diberi bintang, artinya tidak dapat dicairkan —sebagiannya baru bisa dicairkan akhir Mei lalu. Akibatnya, tidak jarang pimpinan PTN harus meminjam dana pribadi untuk membiayai kegiatan yang tidak bisa ditunda.

Konsekuensi pahitnya bisa dibayangkan. Biaya pendidikan —tidak hanya pendidikan tinggi, tapi juga pendidikan dasar dan menengah— yang harus dipikul masyarakat terus meningkat. Dengan begitu, pendidikan dalam praktiknya tidak lagi diperlakukan pemerintah sebagai kebajikan publik (public good), tetapi kian cenderung sebagai usaha bisnis.

Sekali lagi, PT yang diharapkan menjadi ‘mesin’ modernisasi dan kemajuan tidak dapat menjalankan peran dan harapan masyarakat dan bangsa jika ia terbelenggu seperti sekarang ini. Karena itu, dekolonialisasi PT merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement