Kamis 13 Jun 2013 11:04 WIB

Batavia Kolonial dan Jakarta Sukarno

Abah Alwi
Foto: Republika
Abah Alwi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alwi Shahab

Sejarawan Belanda dan Indonesia memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang sejarah asal Jakarta. Kaum nasionalis Indonesia melacak sejarahnya melewati masa kerajaan Islam dan Hindu-Jawa hingga masa prasejarah. Belanda memulainya dengan cerita penaklukan VOC (Kompeni) pada 1619 terhadap Jayakarta.

Sayangnya, kini untuk melacak peninggalan awal berdirinya Batavia-nya JP Coen, sudah sulit kita temui, termasuk benteng dan istana pendiri kota Batavia .

Benteng dan istana para “pembangun” Kota Batavia telah banyak ditinggalkan sejak awal abad ke-19 pada masa gubernur jenderal Daendels (1808-1811) karena merupakan sarang penyakit. Mereka berbondong-bondong ke selatan yang mereka namakan Weltevreden. Di sini kita akan dapati daerah yang menjadi kebanggaan Belanda, yakni Risjwijk (kini Jalan Veteran), Noordwijk (kini Jalan Juanda), dan Passer Baroe, yang merupakan daerah pertokoan sebagian besar toko-toko mewah.

Di kawasan ini juga terdapat sejumlah hotel, termasuk Hotel Des Indes yang paling megah waktu itu di Jakarta. Untuk tempat hiburan dan bersantai, dibangun gedung Harmonie yang kini menjadi bagian Istana Negara. Pada masa Raffles (Inggris), daerah ini khusus diperuntukkan bangsa Eropa dengan menggusur pribumi dan toko-toko Cina.

Memang, Belanda tidak senang berdekatan dengan pribumi yang mereka namakan inlander. Bahkan, istri Raffles melarang para wanita Barat menggunakan busana pribumi, yakni kain dan kebaya, termasuk saat di rumah. Di depan Pasar Baru masih kita dapati gedung kesenian (schouburg).

Bagi Bung Karno jiwa dan hasrat sebuah bangsa ada pada gedung-gedungnya. Ketika Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Asian Games, dia melakukan beberapa pembangunan penting, seperti Hotel Indonesia, pelebaran Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman, Jembatan Semanggi, Kompleks Senayan yang termasuk di dalamnya Gelora Bung Karno.

Sebelumnya, dia telah menyiapkan pembangunan Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara, di bekas area Wilhelmina Park. Hampir bersamaan dibangun toko serba ada Sarinah berlantai 20, gedung Wisma Nusantara berlantai 30, dan gedung Conefo yang kini menjadi Gedung DPR/MPR. Meskipun, banyak di antara proyek baru diselesaikan pada masa Pak Harto.

Rencana Sukarno membangun Menara Bung Karno di Ancol belum terwujud karena dia keburu diturunkan dari kekuasaannya. Tapi, seperti dikemukakan gubernur Ali Sadikin,  Taman Impian Jaya Ancol sekarang ini merupakan salah satu gagasannya.

 

Bung Karno menganggap bahwa bangunan merupakan esensi dan kebanggaan sebuah bangsa. Menjelang saat-saat kejatuhannya, dia menerima berbagai hujatan, terutama dari kalangan mahasiswa yang kemudian menuduhnya sebagai proyek mercusuar yang menghabiskan uang.

Jauh sebelummnya dia menyatakan, “Tidak Saudara-Saudararaku, kita tidak membangun Monumen Nasional yang berharga setengah juta dolar hanya untuk membuang uang. Tidak! Kita membuat ini karena kita menyadari bahwa sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materi, sebuah benda yang hebat bahkan yang kadang-kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman”.

Bung Karno memang ingin menjadikan Jakarta sebagai kota mercusuar proyek Nefo (New Forces) untuk melawan Oldefo (Old forces/negara-negara kapitalis). Demikian tulis Farabi Fakih dalam “Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement