Rabu 12 Jun 2013 18:47 WIB

Sosiolog: Mental Diskriminatif Diplomat Bukan Rahasia Umum

Rep: Fenny Melisa/ Red: Heri Ruslan
 Kantor KJRI yang dibakar oleh sekelompok orang di Jeddah, Arab Saudi, Ahad (9/6).
Foto: youtube
Kantor KJRI yang dibakar oleh sekelompok orang di Jeddah, Arab Saudi, Ahad (9/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Industri dan Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Nadia Yovani menyebut mental diskriminatif diplomat yang disebut oleh Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah bukan lagi rahasia umum.

"Sebenarnya kalau mental diplomat atau konsulat seperti itu (diskriminatif) sudah bukan rahasia umum. Tapi diplomat mana yang disebut Migrant Care itu belum spesifik," kata Nadia dihubungi Rabu (12/6).

Ia pun mengungkapkan pada diskusi publik di Komnas Perempuan beberapa waktu lalu perwakilan dari Kementerian PAN - RB menyatakan bahwa koordinasi antarlembaga di negara tujuan penempatan TKI sangat tidak teratur.

"Siapa mengerjakan tahap yang mana tidak jelas," kata dia.

Dosen sosiolog ini pun menambahkan dokumen kelengkapan para TKI khususnya yang bekerja pada sektor informal (TKI-PLRT) sering kali tidak lengkap.

"Hal tersebut dikarenakan pengurusan dokumen di Indonesia dipenuhi dengan agen dan calo yang ambil jalan pintas dan tidak mengikuti prosedur yang benar," katanya.

Nadia menuturkan, ketika TKI tiba di tempat tujuan seperti Jeddah, data mereka tidak terdaftar akibat tidak lengkapnya dokumen mereka. Jumlah TKI yang seperti ini, tuturnya, tidak sedikit sedangkan jumlah tenaga sekretariat Atase Nakertrans di tempat tujuan seperti Jeddah sangat terbatas.

"Jumlah pelayan publiknya tidak sebanding dengan publik yang dilayani," kata dia.

Akibatnya banyak kawan-kawan relawan yang bekerja untuk membantu. Relawan tersebut adalah TKI yang dianggap memang mempunyai kompetensi membantu. "Jadi tidak asal main membantu," ujarnya.

Namun, karena kurangnya sosialisasi akan aturan dan prosedur yang dibantu, para relawan itu bekerja berangkat dari pemahaman mereka akan proses yang ada. Jumlah relawan ini pun tidak cukup untuk atasi kasus yang ada.

"Para TKI sendiri biasanya punya karakter ingin cepat selesai sehingga seringkali minta didahulukan dengan memberi sejumlah uang. Ini bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang tidak sabar mengikuti prosedur yang ada," tutur Nadia.

Di sisi lain, lanjutnya, ada oknum relawan juga yang memanfaatkan kondisi ini dengan meminta sejumlah uang untuk mempercepat proses yg dibutuhkan oleh TKI tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement