REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menko Polhukam Djoko Suyanto membantah jika pemerintah tidak menyiapkan diri menyambut kebijakan Raja Saudi Arabia tentang amnesti untuk pekerja ilegal.
Ia menjelaskan sejak 10 April lalu, kerajaan Saudi telah mengeluarkan kebijakan amnesti tersebut. Intinya, setiap warga asing yang berstatus over stay dan tidak memiliki dokumen akan dibebaskan dari segala tuntutan dan denda.
Dengan kabar tersebut, banyak WNI yang berbondong-bondong melakukan pendaftaran untuk mendapatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).
"Sejak digulirkannya kebijakan itu, Kedubes dan KJRI telah melakukan persiapan untuk penertiban SPLP. Sejak 18 Mei prosesnya sudah berjalan," kata dia di kantornya, Selasa (11/6).
Ia mengatakan banyak sekali WNI di Saudi yang tidak memiliki surat keterangan atau sudah kedaluarsa. Tercatat, ada 48.260 WNI yang berstatus seperti itu.
Sedangkan setiap harinya, KJRI hanya mampu melayani sekitar 5-6 ribu saja. Karena itu, pelayanan pun berjalan cukup lama.
Pada 7 Juni lalu, lanjutnya, pemerintah mengirim tim ke Saudi untuk membantu. Tim tersebut terdiri dari pihak Kemenlu, Kemenkumham, Kemenakertrans, Dirjen Kemlu, serta BNP2TKI untuk memonitor proses tersebut.
Sayangnya, lanjut dia, proses yang semula berjalan lancar justru dirusak dengan isu yang menyebutkan kebijakan dari kerajaan Saudi berakhir pekan lalu. Isu itu yang memicu terjadinya tindakan anarkis dan menewaskan satu orang.
"Berbondong-bondong WNI datang ke KJRI, jumlahnya 2-3 kali lipat bahkan sampai mencapai 12 ribu orang. Terjadi ketidaknyamanan dan timbul aksi yang sangat kita sesalkan dan terjadi di negara lain," katanya.