Selasa 11 Jun 2013 09:20 WIB

Pendidikan Mungkinkan Indonesia Raih Posisi Ekonomi ke-7 Dunia

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —- Reformasi gelombang kedua yang menekankan politik kesejahteraan tak hanya akan mengurangi kesenjangan, bahkan kian memungkinkan Indonesia meraih kemajuan sebagai negara ke-7 ekonomi dunia. Peningkatan pendidikan dan kesehatan publik menjadi kunci semua itu.

Pernyataan tersebut disampaikan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/6).  Menurut Hatta, optimisme itu sama sekali bukan impian kosong, tetapi didukung banyak fakta otentik. Misalnya, Hatta mencontohkan pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang begitu pesat,  hingga saat ini mencatat jumlah di atas 55 juta orang.

“Dengan jumlah itu saja, Indonesia memiliki pasar paling besar dan potensial dari seluruh negara ASEAN,” kata Hatta. Pertumbuhan kelas menengah itu bahkan tercatat lebih besar dibanding kekuatan ekonomi baru dunia, yakni Cina dan India.  

Percepatan pertumbuhan ekonomi itu, menurut Hatta, akan kian berganda manakala mutu tenaga kerja Indonesia bisa ditingkatkan. Mutu tenaga yang semakin baik otomatis akan memberikan dampak langsung kepada penguasaan teknologi dan peningkatan kreasi bangsa.

“Karena itu, setelah –katakanlah, reformasi  gelombang pertama membuktikan kita mampu menjadi Negara dengan kekuatan ekonomi ke-15 di dunia, reformasi gelombang kedua harus ditekankan pada politik kesejahteraan, dengan fokus meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan rakyat,” kata Hatta.

Menko Perekonomian  yakin, dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, masyarakat pun akan semakin mampu memberikan partisipasi terbaik sesuai kreativitas masing-masing untuk bersama-sama meningkatkan perekonomian nasional.

Optimisme Hatta itu dipertegas Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, Ahmad Erani  Yustika. Senada dengan Menko Perekonomian, Erani menyatakan peluang Indonesia untuk mencapai posisi tersebut sangat besar. Pasalnya, dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia, Indonesia bisa mengakumulasi pendapatan yang besar.

Apalagi dengan pendekatan produk domestic bruto (PDB), yang memungkinkan investasi asing dihitung sebagai pendapatan Indonesia, sementara hingga saat ini Indonesia terus dilirik investor luar negeri sebagai tempat penanaman modal yang potensial.

“Perlu diingat, posisi kita sebagai kekuatan ekonomi ke-15 itu dicapai dengan 65 persen tenaga kerja yang hanya tamatan SMP ke bawah. Bayangkan bila mutu pendidikan tenaga kerja kita lebih baik lagi,” kata Erani.

Sementara, menurut direktur eksekutif Indef itu, tenaga kerja di negara-negara maju didominasi oleh lulusan SMA ke atas. “Inilah yang menyebabkan level penguasaan teknologi dan inovasi Indonesia masih tertinggal, bahkan dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia sekali pun.”   

Penguatan antarlembaga, terutama lembaga non ekonomi  yang tidak berada dalam koordinasi Menko Perekonomian, juga menjadi prasyarat lain. Bila koordinasi antarlembaga membaik dan terjadi saling sinergi satu sama lain, pencapaian sebagai kekuatan 7 besar ekonomi dunia pun kian dimungkinkan.

Beberapa waktu lalu lembaga riset internasional, McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa pada 2030 mendatang Indonesia  bisa menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia. McKinsey juga memperkirakan bahwa Indonesia bisa memiliki kelas konsumen sebanyak 130 juta jiwa atau tiga kali lipat saat ini. Prediksi itu antara lain dengan melihat investasi langsung dari luar negeri (FDI) selama 2012 yang meningkat 26 persen, hingga mencapai rekor tertinggi menjadi US$24,6 miliar.

Sebelumnya, lembaga sejenis, Euromonitor juga memprediksi bahwa pada tahun 2020 sekitar 58 persen penduduk Indonesia akan masuk kategori penduduk ekonomi menengah. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan ekonomi Cina dan India

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement