Selasa 04 Jun 2013 13:57 WIB
Resonansi

Dunia Islam yang Ringkih

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan JS Badudu dan Sutan Mohammad Zain (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), saya tidak menemukan perkataan ringkih, padahal sudah menjadi bahasa harian kita. Perkataan Jawa ini punya makna lemah, tidak sehat, rapuh, dan yang sejenis itu.

Bagi saya penggunaan perkataan ringkih terasa lebih puitis dan tajam, dibandingkan padanannya dalam istilah bahasa Indonesia.

Itulah sebabnya dalam tulisan ini perkataan ringkih digunakan. Benarkah Dunia Islam itu ringkih? Tanpa memerlukan data hasil riset yang mendalam, berdasarkan pengamatan umum saja, pasti jawabannya: benar! Kesenjangan sosial-ekonomi hampir merata di seluruh dunia Islam. Keadilan yang demikian keras diperintahkan Alquran tidak digubris oleh penguasa yang mungkin sudah menunaikan ibabah haji berkali-kali.

Dalam Resonansi di bawah judul `Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup' seri 1 (Republika Online, 14 Mei 2013), kegusaran penyair-filosuf Iqbal dalam bait ini: "Hanya atas si Muslim yang papa, kemurkaanMu ibarat kilat yang menyambar." Sudah papa, kena murka lagi. Karena ini bahasa puisi simbolik seorang Iqbal yang dicintai oleh umat Islam seluruh dunia, maka kita harus menyikapinya dengan kepala dingin sebagai pertanda dari kematangan spiritual kita yang prima.

Apakah kemurkaan atas umat Islam itu tidak bisa dikoreksi lagi, tentu Tuhan yang paling tahu. Atau, keringkihan yang melanda Dunia Islam yang dirasakan sejak lama masih pada tahap cobaan, agar umat ini menyadari betul kesalahan fatal yang telah diperbuatnya dengan menyandingkannya dengan tugas sejarah globalnya sebagai "rahmat bagi seluruh alam" (Alquran surah al-Anbiya 107).

Bacalah koran, bukalah internet, kemudian tengoklah dunia Islam yang terbentang dari ujung bumi ke ujung bumi, dengan jumlah umat sekitar 1,6 miliar manusia, tuan dan puan akan tahu bahwa keringkihan itu terlihat di berbagai negara. Sengketa Syiah-Suni di Irak belum reda, masih berdarah-darah sampai detik ini. Begitu juga perang saudara sesama Muslim di Suriah yang telah merenggut nyawa puluhan ribu.

Di mana Alquran yang mendefinisikan bahwa seluruh umat beriman itu bersaudara dan harus selalu diupayakan terciptanya perdamaian diantara mereka? (Alquran surah al-Hujurat 10).

Alangkah sukarnya, karena egoisme sektarian dan kepentingan politik kekuasaan telah menggantikan posisi Alquran sejak lama, sebuah perbuatan khianat yang telanjang. Tetapi, siapa yang masih mau berpikir ke arah ini?

Mohon saya dikoreksi berdasarkan pemahaman Alquran yang benar, bukan dengan dalil-dalil mazhab pemikiran partisan yang sudah sarat dengan dosa.

Ironisnya, sektarianisme ini telah pula dibingkai dalam teori "akademik" yang juga menggunakan ayat-ayat Alquran dan sunah Nabi sebagai dalil pembenaran bagi posisi puak masing-masing. Saya teringat pernyataan alm KH Amir Ma'sum (dari Majelis Tarjih Muhammadiyah) beberapa tahun lalu bahwa Alquran hanya bisa dipahami secara benar oleh orang yang punya 'aqlun shahih wa qalbun salim (akal sehat, murni, autentik, dan hati yang bening, tidak cacat).

Saya sungguh berharap bahwa kita bersedia melepaskan atribut-atribut keagamaan yang jelas-jelas berlawanan dengan perintah Alquran, kalam Allah pungkasan yang disampaikan Allah via Jibril kepada Muhammad, nabi akhir za man. Alquran kitab korektor sepanjang zaman sampai kehidupan dunia ini mencapai ujungnya yang paling akhir. Saya percaya bahwa keringkihan yang kita derita hanya dapat disembuhkan jika kita dengan jujur mau mengoreksi kelakuan yang telah menyim pang dari jalan kebenaran, jalan Alquran.

Saya tidak punya data berapa jumlah umat Islam yang harus mati setiap hari akibat perbedaan paham agama ini. Sebagian orang akan dengan mudah menilai teman seagama yang berbeda paham dengan label kafir.

Jika di era kelasik awal sebelum munculnya puak Suni-Syiah dan anak turunannya, sengketa internal umat Islam lebih banyak disebabkan oleh kepentingan kekuasaan politik. Apa yang dikenal dengan Perang Onta antara pengikut `Ali, sepupu dan menantu Nabi, dan `Aisyah, janda Nabi, tampaknya dipicu oleh politik kekuasaan ini. Ini semua adalah drama sejarah yang sungguh terjadi, sumber manapun yang dibaca, pasti akan bertemu fakta tragis itu.

Akhirnya, sebuah ayat dalam Alquran yang sering dikutip: "Inna Allaaha laa yug hayyiru maa biqaumin hatta yug hayyiru maa bianfusihim" (Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu sendiri mau mengubahnya' (Al quran su rah al-Ra\'du 11).

Dunia Islam yang masih ringkih ini pasti bisa diubah asal kita sendiri mau mengubahnya dengan jalan mengoreksi prilaku menyimpang yang kita anggap benar selama ini. Saya tidak melihat jalan lain, kecuali ayat ini dijadikan acuan tertinggi. Perkara ilmu dan teknologi tidak sulit untuk dikuasai. Perubahan sikap batinlah yang amat mendesak kita lakukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement