Senin 03 Jun 2013 17:42 WIB

Farhat Ajukan Uji Materi Undang Undang ITE ke Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Republika/Yasin Habibi
Gedung Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengacara Farhat Abbas, tersangka kasus penghinaan etnis kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menguji Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke Mahkamah Konstitusi

"Twitter dilaporkan ke Polda Metrojaya berdasarkan dugaan tindak pidana ITE, jelas bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar kebebasan berekspresi," kata Kuasa Hukum Pemohon Windu Wijaya, saat sidang perdana di MK Jakarta, Senin.

Menurut pemohon, pasal ini ini telah menimbulkan rasa tidak aman bagi pemohon dan WNI lainnya untuk berekspresi karena sewaktu-waktu dapat dipidana mengingat ancaman lebih dari 5 tahun.

"Rumusan pasal a quo tidak detail sehingga dapat digunakan untuk menghukum pidanakan pihak lain. Pasal-pasalnya generalis dan karet," kata Windu.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,

agama, ras, dan antar golongan (SARA)".

Sidang ini dipimpin oleh majelis panel yang diketuai Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang didamping anggota Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Menanggapi permohonan ini, Muhammad Alim meminta menjelaskan pembatasan kebebasan yang dibatasi oleh UU ITE ini.

"Coba dielaborasi pembatasan UU untuk semata-mata menjamin kebebasan atau hak orang lain, pertimbangan moral agama demokrasi dan lain-lain," kata Alim.

Sedangkan Anwar Usman meminta pemohon bisa menguraikan bentuk pikiran dan sikap, sehingga pada kesimpulannya seseorang melakukan tindak pidana atau tidak yang diatur dalam UU ITE.

Sedangkan Arief Hidayat menanyakan jika ketentuan dalam UU ITE ini dibatalkan

apakah justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Apakah bisa dibayangkan apa yang terjadi, jika ini kabulkan malah akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum anarkisme. Seseorang bisa berlebihan melanggar hak orang lain,," kata Arief.

Tapi, lanjutnya, kalau pemohon bisa menguraikan berbeda dengan apa yang disampaikan itu silahkan saja. Untuk itu majelis panel meminta pemohon untuk memperbaiki permohonannya selama 14 hari kerja.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement