Ahad 02 Jun 2013 14:51 WIB

Komisi XI: Subsidi Perlu Verifikasi

Rep: Muhammad Iqbal / Red: A.Syalaby Ichsan
Harry Azhar Aziz
Harry Azhar Aziz

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Efektivitas alokasi belanja subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus tepat sasaran.  Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menilai belanja subsidi seharusnya diarahkan kepada orang yang ditargetkan.

"Bukan kepada barangnya," ujar Harry kepada Republika, Ahad (2/6).  Harry menilai, belanja subsidi perlu verifikasi yang matang terkait status kemiskinan orang yang bersangkutan.  Begitupun subsidi untuk petani maupun nelayan.  Siapa-siapa saja dan bagaimana kriteria penerimanya harus akurat.

Selama ini, kata Harry, subsidi diberikan kepada produsen.  Misalnya untuk pupuk dan benih kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi produsennya.  Begitu pula dengan bahan bakar minyak (BBM) yang diberikan kepada PT Pertamina (Persero) selaku penyedia alokasinya.

"Ada kemungkinan subsidi tidak sampai pada yang berhak," kata Harry.  Meskipun demikian, Harry menyebut pada akhirnya kebijakan terkait subsidi bergantung pada porsi anggaran pemerintah.  Tidak ada ketentuan atau kewajiban di dalam undang-undang maupun konstitusi.  

Anggaran yang wajib disediakan negara adalah anggaran kesehatan maupun pendidikan karena diatur oleh UU.  Subsidi adalah salah satu komponen belanja pemerintah pusat dalam APBN.  

Dalam APBN 2013, alokasi belanja subsidi mencapai Rp 317,2 triliun, terdiri dari subsidi energi Rp 274,7 triliun (subsidi BBM, LPG & BBN Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik Rp 80,9 triliun) dan subsidi nonenergi Rp 42,5 triliun (di antaranya subsidi pupuk Rp 16,2 triliun dan subsidi benih Rp 1,5 triliun).

Dalam RAPBNP 2013, alokasi belanja subsidi melonjak Rp 41 triliun menjadi Rp 358,2 triliun, terdiri dari subsidi energi Rp 300,9 triliun (subsidi BBM, LPG & BBN Rp 209,9 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun) dan subsidi nonenergi Rp 48,3 triliun (di antaranya subsidi pupuk Rp 17,9 triliun dan subsidi benih Rp 1,5 triliun).  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement