Ahad 02 Jun 2013 13:24 WIB

Survei: Warga Tolak Kenaikan BBM

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: A.Syalaby Ichsan
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).   (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bakal menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada pertengahan tahun ini. Berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN), masyarakat menolak kebijakan tersebut.

"Sebanyak 86,1 persen masyarakat dengan tegas menyatakan tidak setuju dan menolak kenaikan harga BBM," kata salah satu peneliti LSN, Dipa Pradipta dalam jumpa pers di Jakarta, Ahad (2/6).

LSN melakukan survei pada 1-10 Mei 2013 di 33 provinsi dengan responden sebanyak 1230 orang secara acak berjenjang multistage random sampling. Tingkat kesalahan atau margin of error survei ini sebesar 2,8 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Dari hasil survei, ada tiga alasan masyarakat menolak kenaikan harga BBM yaitu kebijakan ini dinilai akan semakin memberatkan ekonomi masyarakat karena akan diikuti dengan harga kebutuhan pokok akan naik.

Selain itu, kebijakan ini  dianggap tidak efektif serta ada motif politik praktis di balik kebijakan ini dengan pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Meski demikian, pemberian BLSM  disikapi berbeda oleh masyarakat. Sebanyak 51,7 persen masyarakat justru menyatakan setuju dengan pemberian bantuan ini. Sedangkan yang tidak setuju dengan bantuan ini sebesar 47,2 persen.

Hal ini menunjukkan masyarakat kelas bawah cenderung lebih menolak kebijakan kenaikan harga BBM namun tetap setuju dengan rencana pemberian BLSM dari pemerintah. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas justru menyikapi secara kritis terhadap bantuan tersebut.

Ada dua alasan penolakan bantuan langsung pemerintah ini. Pertama, nominal bantuan tidak sesuai untuk membantu masyarakat miskin untuk menanggulangi dampak kenaikan harga BBM. Kedua, kebijakan ini dinilai sarat kepentingan politis menjelang Pemilu 2014.

"BLSM dinilai sebagai satu-satunya instrumen yang paling efektif untuk mendongkrak elektabilitas partai pemerintah setelah terpuruk oleh sejumlah kasus korupsi," tegas Dipta.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement