REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep K Nur Zaman
Suyanto (50 tahun) menikahi Kundi (45) lewat aksi "penculikan". Nelayan dan pemilik kedai kopi di Dusun Gerupuk, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, ini harus rela tiga anak perempuannya dinikahi secara diculik pula.
"Semua putri saya diculik oleh yang sekarang jadi suaminya. Kini mereka sudah memberi saya tiga orang cucu," kata Suyanto sambil tersenyum.
Tak tersirat ada penyesalan dari mimik mukanya. Dia tampaknya harus lapang dada menerima tradisi turun-temurun yang berlaku di tengah masyarakat Pulau Lombok.
"Saya dulu menculik gadis untuk dinikahi, anak-anak saya pun tidak apa-apa diculik oleh pria idamannya," kata Suyanto pula.
Anak gadis yang menjadi "korban" dalam tradisi penculikan ini umurnya rata-rata 15 tahun. "Tapi ada juga yang usianya baru 13 bahkan 12 tahun. Pria yang menculiknya ada yang baru berusia 16 tahun," kata Suyanto
Namun, tidak setiap aksi penculikan gadis berjalan mulus. Kadang berujung bentrokan bahkan perang antarkampung. "Ya sampai terjadi pertumpahan darah dan korban nyawa," timpal Marinah (45), pembudidaya rumput laut di Dusun Gerupuk.
Bahkan, aksi penculikan yang melibatkan orang lain bisa salah sasaran. Alih-alih menculik gadis idaman, yang "dicikok" malah ibunya.
"Penculikan biasanya dilakukan pada malam hari. Saat menunggu si gadis yang keluar, eh malah ibunya yang nongol dan diangkut," kata Marinah.
Dalam kasus seperti itu, yang terpaksa harus menikahi korban penculikan salah sasaran adalah pihak si pria. Mending kalau janda, tapi jika masih bersuami harus melalui perang antarkampung dan proses perceraian dulu.
Sebab, seperti kata Aan yang seorang PNS pada tulisan terdahulu, adalah aib bagi korban penculikan untuk pulang tanpa menikah. "Bagi yang korban penculikan salah sasaranpun, hal itu berlaku," tuturnya.