Kamis 30 May 2013 13:20 WIB
Resonansi

Neo Zahiri

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Mengadakan beberapa perjalanan sepanjang Mei ke Makassar, Manado, Solo, dan Yogyakarta untuk penelitian tentang akar-akar radikalisme di segelintir kalangan kaum Muslimin Indonesia, saya menemukan sejumlah gejala cukup mencengangkan. Gejala-gejala itu sedikit banyak menimbulkan friksi di kalangan kaum Muslimin sehingga perlu dicermati walau tidak harus secara berlebihan.

Salah satu gejala itu adalah pemahaman Islam, khususnya menyangkut fikih yang cenderung menjadi sangat literal. Dalam terminologi pemikiran Islam klasik pemahaman semacam ini disebut sebagai ‘mazhab Zahiri’, yaitu paham yang hanya melihat ayat Alquran dan hadis sahih mutawatir secara lahir, harfiah atau literal. Bahkan, jika tidak ada nash sama sekali, paham ini menganggap ‘boleh’ dilakukan, meski ijtihad jumhur ulama (ijma’) menyatakan sebaliknya.

Konon, di antara pemahaman Zahiri ala Indonesia, misalnya, adalah bahwa anjing bukanlah najis karena tidak ada ayat Alquran secara eksplisit menyatakan hal demikian. Alquran hanya berbicara tentang haramnya memakan bangkai, khinzir (babi), dan darah mengalir (al-Baqarah 2: 173; al-Maidah 5: 3). Dalam hal terakhir ini karenanya darah yang sudah dibekukan menjadi marus (semacam ‘tahu’) boleh belaka dimakan.

Ada lagi berita tentang paham Zahiri Indonesia yang membuat saya kaget. Yaitu, jika setelah mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri sebagai tanda berakhirnya shalat, tidak boleh mengulurkan atau menerima uluran tangan untuk bersalaman. Ketidakbolehan itu karena salaman di antara jamaah yang berada di samping kanan kiri atau di depan dan belakang tidak termasuk rukun shalat.

Semua perkara ini beserta sejumlah soal lain yang dikembangkan paham Zahiri Indonesia, seperti penolakan terhadap apa yang mereka sebut sebagai bid’ah jelas merupakan masalah furuiyah (ranting) belaka —bukan masalah pokok. Tetapi, perbedaan pendapat (khilafiyah) di antara para ulama dan umat mengenai masalah furuiyah bisa mendatangkan tensi, konflik, dan permusuhan yang dapat tidak pernah putus.

Sebenarnya, pada tingkat arus utama (mainstream) seperti Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, Perti, PUI, Persis, NW, DDI, dan al-Khairat, masalah khilafiyah furuiyah semacam itu pada dasarnya telah selesai. Ini perkembangan menggembirakan dan menjanjikan karena para ulama, pemimpin umat, dan kaum Muslimin dapat lebih memusatkan perhatian, energi, dan sumber daya, pada pembangunan dan pemberdayaan kehidupan umat Islam Indonesia.

Di tengah perkembangan menjanjikan itu, tetap saja ada kelompok umat yang justru tetap menjadikan masalah furuiyah sebagai salah satu agenda utama. Karena masalah furuiyah yang disebabkan pemahaman harfiah terhadap teks Alquran khususnya, dan pada saat yang sama menolak hadis, ijma, dan tradisi ulama otoritatif, kembali menimbulkan friksi dan konflik di antara umat.

Kelompok seperti itu dapat disebut sebagai ‘neo Zahiri’. Istilah ini mengacu kepada ‘mazhab’ Zahiri [klasik] yang dikembangkan Daud ibn ‘Ali ibn Khalaf al-Asfahani al-Zahiri (lahir di Kufah 202H/817M, dan wafat di Baghdad pada 270H/883M), yang juga dikenal sebagai Abu Sulayman. Sesuai laqab yang dinisbahkan kepadanya, paham keislamanan, khususnya fikih, Daud al-Asfahani bersifat harfiah —menolak adanya pengertian lain di balik teks nash.

Pemahaman Zahiri atau literal yang dikembangkan Daud ibn Khalaf semula merupakan kontrawacana terhadap pandangan Imam Syafi’i, Imam Hanafi yang dia pandang terlalu menggunakan akal dalam ijma fiqhiyyah, atau kalam (teologi) Mu’tazilah yang terlalu rasional. Dengan pandangan zahirinya, Daud ibn Khalaf menolak penggunaan dan intervensi akal terhadap ayat Alquran melalui tafsir dan apalagi takwil.

Pandangan Mazhab Zahiri meski tidak populer mampu bertahan sekitar tiga abad di lingkungan wilayah Abbasiyah. Selanjutnya, sempat mendapat sedikit penganut di Andalusia. Namun, Mazhab Zahiri tidak bisa bertahan signifikan, tergilas arus sejarah dan sosiologi masyarakat Muslim umumnya yang menolak zahirisme dan berbagai bentuk pandangan rigid lain, dan sebaliknya berketetapan dalam ‘jalan tengah’ (washatiyyah/).

Tetapi jelas, literalisme tidak pernah lenyap sepenuhnya baik dalam tradisi pemikiran Islam dan masyarakat Muslim, maupun dalam tradisi agama manapun. Dalam perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keagamaan yang begitu cepat di masa modern dan kontemporer, terdapat kalangan umat Islam yang seolah menemukan ‘pegangan’ dalam zahirisme.

Gejala perpaduan di antara zahirisme klasik dengan perubahan yang begitu cepat, antara lain, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan kembali ‘neo Zahiri’. Perpaduan itu tidak jarang menimbulkan kontradiksi, baik secara terminologis, substantif, maupun praksis. Gejala kontradiktif ini sulit dijelaskan, bagaimana pemahaman literal terhadap teks Alquran dan hadis mutawatir bisa dikawinkan dengan kemajuan pemikiran, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta informasi instan.

Terlepas dari itu, sekali lagi perlu pengembangan tasamuh dan tawazun. Tanpa itu, umat Islam Indonesia dapat kembali terjebak ke dalam pertikaian furuiyah dengan tensi dan konfliknya yang bisa tak berujung, yang tak lain hanya merugikan umat dan bangsa secara keseluruhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement