Kamis 23 May 2013 22:34 WIB

Gugat UU KPK, Kuasa Hukum Farhat Abbas Dicecar Hakim MK

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Mansyur Faqih
Gedung KPK
Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Advokat Farhat Abbas mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal dalam UU Nomor 30/2002 yang mengatur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Farhat melalui kuasa hukumnya mengajukan uji materi pasal 21 ayat (5).

Selain Farhat, Narliz Piliang juga menjadi pemohon dalam gugatan ini. Keduanya diwakili kuasa hukum dalam persidangan di Gedung MK, Kamis (23/5). Salah satu kuasa hukum pemohon, Windu Wijaya, mengatakan pasal yang diuji terkait pimpinan KPK yang bekerja secara kolektif.

"Ketentuan itu jelas tidak mengandung kepastian hukum," kata dia.

Isi pasal itu, menurut Windu, telah merugikan hak konstitusional para pemohon sesuai yang diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketua majelis hakim, Hamdan Zoelva mempertanyakan kerugian para pemohon dengan adanya sistem kerja secara kolektif di KPK. 

Karena, yang mengajukan permohonan bukan dari bagian lembaga anti-korupsi itu. "Tapi kalau warga negara biasa atau advokat harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga ada hubungannya," kata dia.

Ketua majelis hakim juga mempertanyakan ketidakpastian hukum yang dimaksud para pemohon. Windu menjelaskan, sistem kolektif menghambat proses pemberantasan korupsi.

Karena, ia katakan, kalau ada pimpinan yang mempunyai pendapat berbeda, maka keputusan untuk proses penyidikan atau penetapan tersangka bisa terhambat. Ia menyontohkan kasus Hambalang yang disebut menyeret nama Anas Urbaningrum.

Berdasarkan keterangan mantan sekretaris ketua KPK, Wiwin Suwandi, Windu mengatakan, ada perbedaan pendapat di antara pimpinan KPK. Salah satu pimpinan, ia katakan, belum sepakat menaikkan ke tingkat penyidikan. 

Karena itu, ia mengatakan, pengambilan keputusan secara kolektif menghambat proses pemberantasan korupsi. "Artinya ketentuan itu jelas tidak mengandung kepastian hukum," kata dia.

Menurut pemohon, Windu mengatakan, pengambilan keputusan hanya cukup Ketua KPK. Hamdan mencecar argumen kuasa hukum itu. Hamdan mencontohkan apabila ada satu pimpinan yang setuju, tetapi empat lainnya tidak.

Namun, satu keputusan pimpinan itu yang akhirnya berjalan seperti apa yang dimaksud kuasa hukum pemohon. "Sama saja menimbulkan ketidakpastian hukum," kata dia.

Anggota majelis hakim, Arief Hidayat berpendapat, masalah pemohon bukan menyangkut konstitusionalitas berdasarkan batu ujinya. Namun justru menyangkut kebijakan atau pilihan politik.

Arief meminta kuasa hukum Farhat Abbas untuk mempertajam permohonannya. Misalnya, ia katakan, memberikan perbandingan dengan lembaga anti-korupsi di negara lain.

"Yang saya tahu, negara lain juga kolektif, karena kalau tidak berbahaya sekali bisa menimbulkan arogansi, otoriter," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement