REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Keadilan sejahtera (PKS) dikabarkan akan meninggalkan koalisi sekretariat gabungan (setgab) partai pendukung pemerintah.
"Usulan memang ada. Sampai hari ini ga ada pembicaraan keluar atau ga keluar,itu bisa terjadi kapan saja," kata Wasekjen PKS, Mahfudz Siddiq di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/5).
Menurut dia, Majelis Syuro PKS belum membahas secara spesifik mengenai kemungkinan keluar darikoalisi. PKS lebih fokus pada persoalan kekinian yang kini tengah dihadapi. Bagaimana menyikapi perkembangan isu-isu aktual yang diprediksi mempunyai imbas terrhadap PKS sebagai sebuah institusi.
Seperti kasus hukum yang dialami mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq. Meski PKS telah menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut paad tim kuas hukum partai. Tetapi tidak dapat dipungkiri banyak hal yang harus direspon seluruh kader PKS.
"ini kan banyak suara-suara yang mendorong KPK. Untuk menggiring kasus ini pada keterlibatan institusi," ujar Ketua Komisi I DPR tersebut.
Bertahan atau tidak dalam koalisi, menurut Mahfudz bukan menyangkut soal nyaman atau tidak nyaman. Namun, catatan PKS selama ini kebijakan-kebijakan pemerintah hanya menguntungkan kepentingan penguasa.
Misalnya dalam menyikapi rencaan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Menurut dia, pemerintah sekarang menggunakan pola baru terkait rencana kenaikan BBM. Dengan mendahulukan pembahasan mengenai skema bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).
Mahfudz menduga skema itu untuk menggiring partai-partai di DPR, sehingga terjebak pada pilihan setuju atau tidak setuju dengan BLSM. Ketika anggota koalisi diminta untuk mendukung rencana kenaikan BBM, usulan dan masukan anggota koalisi menurutnya tidak ditindaklanjuti.
"Kami tidak mendapat respon positif terhadap usulan-usulan yang sebenarnya bisa memberikan solusi komprehensif," ungkapnya.