Kamis 23 May 2013 21:00 WIB

Kendala Dana, Fitofarmaka di Indonesia Baru Ada Lima Jenis

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sampai saat ini belum ada perkembangan jumlah fitofarmaka yang diproduksi di Indonesia dan diresepkan dokter. Hal ini dikarenakan biaya penelitian sampai uji klinis tanaman obat menjadi fitofarmaka mahal.

"Di samping itu, tidak ada anggaran dari pemerintah untuk pengembangan obat herbal sampai dilakukan uji klinis pada manusia. Karena biayanya memang mahal," kata Ketua Tim Pengembangan Obat Herbal RSUP Dr Sardjito dr Nyoman Kertia, SpPD-KR kepada Republika.

Informasi dari salah satu perusahaan yang memproduksi fitofarmaka mengrmukakan untuk penelitian obat herbal sampai uji klinik pada manusia biayanya mencapai Rp 10-50 miliar.

Sementara anggaran penelitian dari pemerintah untuk penelitian obat herbal maksimal sekitar Rp 60 juta. Fitofamaka produksi Indonesia sejak 2003 hingga kini baru Nodia, Rheumaneer, Stimuno, Tensigarp, Agromed, X-Gra.

Padahal prospek penggunaan obat fitofarmaka maupun dokter yang mau meresepkan selalu ada. Namun dokter maunya kalau meresepkan obat herbal itu yang sudah diuji klinik, yang diujikan pada manusia.

Sehingga terbukti bagus dan aman kalau diresepkan pada manusia. Kalau obat herbal yang sudah dilakukan uji pada hewan, uji in vitro pada sel-sel yang dibiakkan sudah banyak.

Menurut Nyoman, untuk menjadikan obat herbal tersebut sampai fitofarmaka perlu proses panjang dan biaya besar. Masalahnya, dia menambahkan,anggaran pemerintah Indonesia untuk pengembangan fitofarmaka tidak banyak. Sementara swasta juga punya kesadaran ke arah itu.

"Berbeda halnya dengan negara Cina dan Thailand, mereka sangat concern dengan pengembangan herbal menjadi fitofarmaka dan ada anggaran yang besar untuk itu. "Di Indonesia harus ada kebijakan dari DPR yang menganggarkan dana untuk penelitian sampai uji klinis tanaman obat menjadi fitofarmaka," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement