Rabu 22 May 2013 18:42 WIB

YLKI Dorong Sertifikasi Halal

Rep: Ani Nursalikah / Red: M Irwan Ariefyanto
Penerapan standar halal global segera diberlakukan.
Foto: dubib.com
Penerapan standar halal global segera diberlakukan.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong adanya sertifikasi halal bagi produsen makanan di Indonesia. Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan sertifikasi halal berbeda dengan pemberian label halal pada makanan. 

Menurutnya, label halal jika salah konsep justru akan membebankan konsumen, terutama dari segi ekonomi. Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dan UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, regulasi sertifikasi halal masih bersifat voluntary atau sukarela. 

Artinya, memiliki sertifikasi halal adalah sebuah pilihan bagi produsen. Jika produsen tidak mempunyai sertifikasi halal tidak ada sanksi baginya. Sebaliknya, produsen yang memiliki sertifikasi halal wajib mencantumkan label halal. Seandainya terbukti di kemudian hari terdapat komponen haram di produknya, ia bisa dikenakan pidana.  "Dengan Indonesia yang memiliki mayoritas Muslim, secara common sense semua produk yang dijual adalah halal. Jadi tidak perlu lagi pakai label halal," ujarnya saat dihubungi ROL, Rabu (22/5).

Tulus menilai, label produk halal sebaiknya jangan menjadi kewajiban. Sebab hal tersebut akan menjadi beban ekonomi tersendiri, baik bagi konsumen maupun produsen. Dampaknya konsumen akan membayar produk lebih mahal dan produsen bisa dikenai denda dan pidana.

Justru, ia berpandangan, produk yang haram (mengandung babi, misalnya) harus dilabeli. Label halal terutama sangat dibutuhkan di daerah dimana Muslim menjadi minoritas, seperti di Bali. Di wilayah tersebut sulit menemukan produk halal dan hanya bisa didapatkan di tempat tertentu. Bahkan, hotel juga perlu memberi tanda halal pada makanan yang disajikannya.

Selama ini sertifikasi halal di Indonesia dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang mengacu pada fatwa halal MUI. Tulus mempertanyakan apakah MUI sudah memiliki infrastruktur yang cukup untuk menangani seluruh wilayah Indonesia sebab setiap enam bulan sekali sertifikasi itu harus diaudit. "Apakah MUI nantinya tidak kedodoran? Jangan sampai juga label halal menjadi komoditas bisnis Kementerian Perdagangan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement