Selasa 21 May 2013 21:00 WIB

Ketua MK Minta Menkeu Tingkatkan Perhatian Terhadap PNBP

The new elected chief justice of Constitutional Court, Akil Mochtar
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
The new elected chief justice of Constitutional Court, Akil Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar berharap Menteri Keuangan Chatib Basri bisa meningkatkan perhatian terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Karena itu (PNBP) bukan rahasia bahwa salah satu komponen pemasukan negara dan ini juga bagian dari yang rawan dikorupsi," kata Akil di Jakarta, Selasa.

Akil mengatakan kewenangan merumuskan dan memperjelas kembali unsur-unsur mana saja yang termasuk PNBP merupakan kewenangan Kemenkeu.

"Maksud saya sekarang ini banyak terjadi korupsi di institusi-institusi itu semuanya mempunyai alasan masing-masing, termasuk merasa berhak mengelola PNBP itu. Sebab bukan pajak," katanya.

Dalam Undang Undang nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP, didefinisikan sebagai seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, dikelompokkan meliputi; penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah dan dari pemanfaatan sumber daya alam.

Kemudian dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi, hibah yang merupakan hak pemerintah, dan lainnya diatur dalam undang-undang tersendiri.

Pemasukan besar dari PNBP terutama dari berbagai sektor besar seperti minyak dan gas serta lainnya, kata Akil, bisa saja pengawasannya sudah baik. Namun jangan abaikan PNBP dari pelayanan publik lain karena nilainya tetap tinggi.

"Itu angkanya triliunan. Padahal itu masih merupakan pendapatan negara yang peruntukannya dipergunakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat," ucapnya.

Akil menjelaskan bahwa pada Bab III pasal 4 UU tentang PNBP itu bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara.

Selama ini, kata Akil, banyak instansi selaku pengelola boleh menggunakan uang yang masuk kategori PNBP itu sampai 80 persen sisanya 20 persen masuk ke kas negara.

"Jadi misalnya di satu instansi PNBP-nya Rp 10 triliun, dia boleh gunakan sampai Rp 8 triliun sehingga disitu lah terjadi yang namanya mark up. Sisanya baru dikasih ke negara," jelasnya.

Atas fakta tersebut Akil berharap ada pengetatan dari Kemenkeu, termasuk memperjelas mana saja objek sesuatu kegiatan itu ditetapkan menjadi PNBP atau tidak karena seiring perkembangan zaman banyak terjadi perubahan.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement