REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM menilai, tindak pidana korupsi masih merajalela di negeri ini. Antara lain, fasilitas negara sudah menjadi tempat kejahatan kerah putih tersebut.
Direktur Eksekutif Pukat UGM Hasrul Halili menilai, korupsi menyeret aktor-aktor politik partai. Fasilitas negara seperti kementerian digunakan untuk mencari kepentingan partai. BUMN disebut menjadi sapi perah partai politik.
Ia mengatakan, korupsi makin besar mendekati momentum politik seperti pemilihan umum mendatang. "Fasilitas negara digunakan untuk kepentingan itu dan secara pragmatisnya menggunakan cara korupsi," kata dia, saat dihubungi Republika, Senin (20/5).
Menurut Hasrul, Pukat kini tengah mengkaji mengenai tindak pidana korupsi. Antara lain meniliti apakah partai politik bisa masuk dalam pendefinisian sebagai korporasi. Jika iya, maka partai politik bisa menjadi sasaran jika terbukti mendapatkan aliran dana dari praktik korupsi. "Apakah nantinya partai bisa dibubarkan," kata dia.
Hari Kebangkitan Nasional, ujar dia, seharusnya juga menjadi momen perjuangan memberantas korupsi. Ia mengatakan, aparat penegak hukum harus lebih solid dan tidak takut dalam menyeret dan memerlakukan semua orang yang diduga melakukan korupti. "Inilah yang ditunggu masyarakat," ujar dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menjadi salah satu garda terdepan untuk memberantas tindak pidana kerah putih. Hasrul menilai, KPK masih belum maksimal dan tebang pilih. Inilah, menurutnya, yang menimbulkan suara sumbang dari beberapa pihak.
Namun, ia berharap, tebang pilih itu adalah menebang kasus yang 'matang'."KPK dituntut untuk mengurus kasus-kasus besar itu," kata dia.