REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB) melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Senin (20/5). Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut reformasi sistem kesehatan nasional.
Para dokter yang terdiri dari beragam spesialisasi ini kemudian melakukan long march menuju istana negara. Di depan istana, massa yang mengenakan jas putih khas dokter ini kemudian meneriakkan orasi.
Juru bicara DIB, Agung Sapta Hadi mengatakan, mereka menuntut pemerintah untuk memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan. Agung menyatakan, pemerintah harusnya mengalokasikan anggaran untuk kesehatan dalam APBN minimal lima persen, dan minimal sepuluh persen pada APBD.
Hal itu, kata dia, sesuai dengan UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 pasal 171. "Ternyata kita sekarang hanya dua persen. Ini menunjukkan komitmen pemerintah sangat kecil," kata dia di hadapan wartawan.
Menurut Agung, mahalnya biaya kesehatan di Indonesia bukan karena biaya jasa dokter yang tinggi. Gaji dokter honorer di Jakarta, kata Agung, hanya Rp 1,9 juta.
Dia menjelaskan, mahalnya pelayanan kesehatan disebabkan alat-alat kesehatan yang harganya selangit. Sebab, di Indonesia, alat-alat kesehatan digolongkan dalam kelas barang mewah.
Selain itu, Indonesia juga belum mampu produksi obat dan vaksin sendiri, sehingga harus impor. Karena itu, ia juga menuntut penghapusan pajak barang mewah untuk impor alat kesehatan. "Pelayanan kesehatan di Indonesia tidak bisa murah kalau masih seperti itu," kata Agung menambahkan.
Selain itu, massa juga menuntut agar pelayanan kesehatan tidak dipolitisasi. Agung menyebut, pelayanan kesehatan bersifat populis. Artinya, pemerintah hanya memikirkan bagaimana orang sakit bisa berobat ke dokter. Namun tidak memikirkan bagaimana tindakan pencegahannya.
"Kita ingin ada reformasi sistem kesehatan nasional yang berkeadilan, tidak semuanya dibebankan pada dokter," kata dia menegaskan.