REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dinilai pengamat Komunikasi Publik dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, berbeda dari pejabat lainnya.
Penilaian itu tak lepas dari sosok Jokowi yang disebut Devie tak banyak berkomentar layaknya pengamat. Devie mencontohkan, untuk kasus relokasi warga bantaran waduk Pluit. Paling tidak, Devie melihat jokowi sudah cukup berani mengambil keputusan dengan merelokasi warga dengan berbagai risiko.
"Terkecuali Jokowi, dia tidak jadi pengamat seperti yang lainnya," kata Devie ketika dihubungi ROL, Senin (20/5)
Justru Devie menyayangkan, sikap pejabat lain yang bisanya hanya melempar polemik publik dengan bersikap sebagai pengamat. Jika ada masalah konstalasi dialog publik, menurutnya adalah hal yang wajar dalam iklim demokrasi di Indonesia. "Kalau tidak ingin ada rakyat protes, mending kita kembali ke masa tirani yang lalu," tuturnya.
Sebenarnya dalam iklim demokrasi sangat sulit membungkam aspirasi publik yang ada. Publik terbagi atas tiga kelompok, yaitu setuju, tidak setuju dan netral. Ini tergantung derajat kepentingan masing-masing. Yang netral masuk ke dalam golongan yang tidak memiliki kepentingan apa-apa, dan bahkan tidak peduli.
Mereka yang netral, tutur Devie, biasanya tidak memiliki persinggungan langsung dengan pemerintah. Berbeda dengan publik yang setuju atau tidak setuju, mereka punya persinggungan langsung dengan kebijakan tersebut
Sementara Jokowi, dalam berbagai kebijakan sudah berani mengambil keputusan. Jokowi dinilai Devie dapat mengentaskan kebijakan tersebut dengan menjalankannya. Selain itu, dalam pengamatannya, Jokowi juga memberikan alasan dan sudah menyiapkan berbagai keperluan untuk kebijakan tersebut.
Jokowi tidak menjadi seorang pengamat seperti yang dilakukan pejabat publik yang lainnya yang justru sangat menyesatkan ketika menjadi pengamat. "Yang seharusnya penjabat tersebut menjalankan kebijakan itu," katanya mengakhiri.