REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan pemeriksaan Wali Kota Bandung Dada Rosada pada Senin (20/5) terkait kasus dugaan suap bantuan sosial pemerintah kota Bandung.
"Surat panggilan untuk Dada Rosada sudah diantarkan pada Jumat (19/5), diperiksa sebagai saksi untuk empat tersangka pada hari Senin," kata Juru Bicara
KPK Johan Budi, Minggu di Jakarta.
Sebelumnya pada Jumat, KPK menggeledah rumah dinas Dada di Jalan Kauman No 26 dan di rumah pribadi Dada di Jalan Tirtasari 2 No 12 Bandung.
Pada Kamis (4/4), Dada Rosada sempat mendatangi KPK karena mendapatkan surat panggilan terkait kasus yang sama, namun ia tidak diperiksa penyidik dan hanya berada di KPK sekitar dua jam karena surat panggilan yang diperolehnya ternyata palsu.
Tim pengawas internal dan Pengaduan Masyarakat KPK sudah berkoordinasi dengan Polda Jawa Barat untuk mengusut pelaku surat palsu tersebut.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat orang yaitu
hakim Setyabudi Tejocahyono sebagai penerima suap, HN (Herry Nurhayat) yang menjabat sebagai Pelaksana tugas Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Kota Bandung, AT (Asep Triana) yaitu perantara pemberian suap dan TH (Toto Hutagalung) yang merupakan orang dekat Walikota Bandung Dada Rosada.
KPK menangkap hakim Setyabudi di kantornya di PN Bandung pada Jumat (23/3), sesaat setelah menerima uang senilai Rp150 juta dari Asep.
KPK menyita uang tersebut dan mobil Toyota Avanza milik Asep yang memuat uang lain berjumlah Rp350 juta.
Dalam penggeledahan di kantor hakim Setyabudi, ditemukan uang senilai ratusan juta rupiah dan ribuan uang dolar AS dan berita acara pemeriksaan yang memuat nama Dada Rosada.
Setyabudi menjadi hakim ketua dalam sidang tujuh terdakwa PNS di pemerintah kota Bandung yang divonis satu tahun penjara dan denda senilai Rp50 juta subsider satu bulan penjara pada Desember 2012.
Setyabudi yang pernah menjadi Ketua pengadilan di Tanjung Pinang dan hakim di Semarang itu memutuskan para terdakwa wajib membayar uang pengganti sejumlah Rp9,4 miliar, dari total anggaran yang disalahgunakan mencapai Rp66,5 miliar.
sumber : Antara