REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pembebasan tanah atas sejumlah bidang lahan pembangunan Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) berlangsung alot.
Warga Kukusan, Beji, Depok, yang terkena aturan pembebasan lahan pembangunan tol ini pun, menuntut kejelasan pada pemerintah kota (pemkot) terkait zonasi. Pasalnya, zonasi tersebut menimbulkan disparitas harga tanah yang merugikan.
Juru Bicara Warga Kelurahan Kukusan Syamsuddin mengatakan, sejak tahun lalu, pembicaraan tentang pembayaran ganti rugi tanah warga, Tim Panitia Pembebasan Tanah (TP2T) Pemkot Depok tidak mampu menunjukkan petunjuk teknis pembentukan zonasi tersebut.
''Mereka (TP2T) tidak pernah menunjukkan dasar hukumnya pada kami. Mana petunjuk teknis pembentukan zonasi menjadi enam bagian itu,'' kata Syamsuddin kepada Republika, Ahad (19/5).
Sedangkan, sebelumnya, tidak pernah ada pembicaraan tentang zonasi atas penggantian harga tanah warga. Pembayaran ganti rugi lahan milik warga pun nilainya seragam. Pemkot menjanjikan satu harga untuk seluruh tanah yang terkena pembebasan.
Akan tetapi, ucap Syamsuddin, saat pihak Ombudsman RI bertemu dengan perwakilan Pemkot Depok pada Senin (13/5) lalu, muncul pembicaraan zonasi lahan. Ia pun menjelaskan, disparitas harga atas zonasi tersebut sangatlah signifikan.
''Enam zonasi. Zona satu itu harganya ialah Rp 4.850.000 per meter, zona dua Rp 3.300.000 per meter, tiga Rp 3.100.000, zona empat Rp 2.370.000 per meter,'' papar Syamsuddin. Harga tanah warga berdasarkan zonasi tersebut pun membuat nilainya semakin mengecil.
Bahkan, Symasuddin mengungkapkan, harga penggantian tanah warga untuk zona lima yaitu Rp 2.200.00 per meter. ''Sedangkan untuk zona enam yaitu hanya sebesar Rp 910.000 per meter,'' ujarnya.
Selain menuntut ketetapan dasar hukum pembentukan zonasi atas pembebasan 225 bidang tanah itu, warga Kukusan pun menuntut tanggungjawab besar pemkot Depok.
Menurutnya, seluruh warga yang terkena penggusuran atau sebuah pembebasan lahan, tingkat ekonominya harus lebih baik dibanding kondisi sebelumnya. ''Ini berdasarkan Perpres nomor 36 tahun 2005 yang menyebutkan demikian. Perpres ini tidak ketemu di kenyataannya,'' kata Syamsuddin.
Akan tetapi, kenyataan yang warga dapatkan, malah sebaliknya. Ia mengaku, selama proses pembebasan Tol Cijago seksi II B ini berjalan, warga mengalami tekanan psikis. Ia menambahkan, warga pun bukan meminta pembayaran ganti rugi lahan. ''Melainkan kami meminta ganti untung. Sudah lama warga resah,'' tegasnya.