REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan pemeriksaan IUU Fishing antara BPK RI dengan JAN Malaysia akan di rampungkan pada Pertemuan Teknik di Johor Baru, Malaysia, 9-11 Mei.
"Pararel audit IUU Fishing merupakan kesepakatan pertemuan sebelumnya di NTB Mataram tahun lalu," ujar Ali Masykur Musa, Anggota BPK yang membidangi Kelautan dan Perikanan.
Dalam perspektif Indonesia Pararel Audit ini penting karena ditemukan potensi kerugian negara sekitar Rp 30 Triliun akibat penjarahan ikan yang marak di perairan Indonesia.
Menurut Ali Masykur, Indonesia yang memiliki luas perairan mencapai 5.887.879 km mendapatkan nilai ekspor sub sektor perikanan hanya Rp. 3,34 Miliar pertahun. Angka ini terhitung sangat kecil jika dibandingkan dengan pendapatan Vietnam yang bisa mencapai 25 Miliar dari luas perairan yang jauh lebih kecil dari Indonesia.
"Hal ini ditengarai dengan banyaknya nelayan asing yang menjarah ikan di perairan yang berbatasan dengan Malaysia, seperti; Laut Natuna, Selat Malaka, Laut Sulawesi, Laut Aru dan Laut Arafuru. Dampaknya, negara mengalami kerugian ekonomi, ancaman kelestarian lingkungan, dan iklim usaha yang tidak baik, serta lebih buruk lagi nelayan Indonesia masih terus bergulat dengan kemiskinan," ungkap Ali Masykur Musa.
Dalam pertemuan yang akan digelar Kamis (9/5) besok, BPK akan mengusulkan agar pemerintah kedua negara melakukan patroli bersama agar penjarahan di perbatasan tidak terjadi, begitu juga masing-masing merevsi National Planning Action -NPOA yang tujuanya utk menyelamatkan potensi penerimaan negara dari sektor kelautan.
Khusus kepada pemerintah RI, Ali Masykur Musa mengusulkan agar aparat keamanan menindak tegas terhadap pelaku illegal fishing untuk membuat efek jera. Tanpa penegakan hukum mereka akan mengulangi lagi, dan ini jelas merugikan negara dan menyengsarakan nelayan tradisional Indonesia.