Selasa 07 May 2013 10:16 WIB

Era Perkotaan Digital di Indonesia

Kemacetan Ibukota Jakarta.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Kemacetan Ibukota Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Wibisono Bagus Nimpuno*

E-City merupakan sebuah terminologi konsep kota masa depan yang harus dirintis di era globalisasi saat ini. Beberapa negera maju tentunya sudah mengaplikasikan konsep tersebut secara sederhana diikuti oleh beberapa Negara berkembang yang mulai merintis konsep tersebut.

E-city secara pengertian merupakan sebuah konsep perkotaan yang dikembangan dengan basis informasi dan teknologi. Konsep pembangunan perkotaan berkelanjutan yang berlandaskan asas intelegensi dan digital networking. Era globalisasi tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi dan informasi yang berkembang setiap hari, termasuk ke ranah perkotaan.

Teknologi yang dikelola dengan bijak dan memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan. Beberapa istilah yang dapat ditemukan dalam konsep E-city misalnya, Digital Road, Smart Infrastructure, Digital Network, dsb. Istilah-istilah tersebut merupakan sarana untuk mengelola perkotaan yang berbasis informasi dan teknologi. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada, dampak negatif dari pembangunan kota dapat dikurangi. Misalnya, kemacetan yang mengakibatkan polusi, meningkatnya konsumsi bahan bakar, stress, dll.

Selain itu, terurainya masalah perkotaan yang ada dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang, melalui manajemen transportasi yang berbasis pada teknologi, maka otoritas penyedia sarana transportasi masal dapat memberikan layanan yang memuaskan bagi masyarakat, sehingga penggunaan mobil pribadi dapat ditekan dan masyarakat lebih memilih menggunakan sarana transportasi masal.

Penerapan konsep E-city di Indonesia bisa dibilang terlambat dibandingkan dengan beberapa negera berkembang, seperti Korea Selatan, Turki, bahkan tetangga kita, Malaysia. Sebagai contoh, integrated mass transportation yang berbasis pada teknologi telah diterapkan sejak 10 tahun terakhir, terlebih Turki, khususnya Istanbul, yang sudah dimulai sejak awal tahun 90-an.

Jakarta sebagai kiblat pembangunan kota di Indonesia bahkan belum berani memulai untuk menerapkan konsep E-city yang bisa mengurai masalah Ibu Kota tersebut. Pemerintah DKI Jakarta disibukkan oleh masalah birokrasi dan keberanian dalam mengambil keputusan ekstrim, sebagai contoh masalah MRT dan Monorail yang secara konsep sudah ada sejak zaman pemerintahan Sutiyoso, namun untuk eksekusinya masih tarik ulur hingga sekarang.

Busway yang sudah ‘dieksekusi’ pada masa pemerintahan Sutiyoso meninggalkan berbagai masalah karena tidak dikelola secara professional dan tidak memandaatkan teknologi secara maksimal, mulai dari keterlambatan jadwal hingga system penjualan tiket yang masih manual.

Selain masalah transportasi, penggunaan sarana internet juga kurang dimaksimalkan pemerintah untuk memberikan informasi perkotaan, terkait dengan cuaca, kondisi jalan, arus lalu lintas.,dll. Meskipun bisa di akses, namun masih terbatas pada titik-titik tertentu dan tidak terintegrasi satu dengan yang lain.

Hal tersebut terkait dengan minimnya pengaplikasian kamera CCTV pada area publik, meskipun penggunaannya harus dibatasi karena dapat mengganggu privasi masyarakat. Penggunaan kamera CCTV pada area public akan banyak memberikan manfaat dalam pengelolaan perkotaan, misalnya dapat menekan angka kriminalitas dan mengurai kemacetan di Jakarta melalui informasi yang ‘disiarkan’ melalui perangkat digital, seperti telepon seluler, tablet, dsb; yang bisa mengakses internet.

Selain masalah kemacetan dan kriminalitas, banjir merupakan salah satu masalah klasik yang terdapat di Jakarta. Banjir di Jakarta dapat diatasi dengan memanfaatkan teknologi yang terdapat pada saat ini. Sebagai contoh Malaysia membangun sebuah tunel yang diberi nama SMART atau  "Stormwater Management And Road Tunnel".

Jakarta melalui gubernurnya pernah membuat usulan untuk membuat tunel sejenis, namun usulan tersebut hanyalah sebatas ucapan. Bahkan beliau sesumbar ingin membuat yang terpanjang di dunia dan lagi-lagi terhambat masalah finasial, birokrasi, dan keberanian dalam mengambil keputusan. Selain pembangunan tunel, beberapa pintu air seharusnya sudah dikontrol secara digital untuk mengawasi ‘pergerakan’ air sehingga pemerintah dapat memberikan warning kepada masyarakat lebih dini terhadap banjir yang akan menghampiri.

Indonesia sebagai Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, secara statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sekitar 6 persen. Jika pembangunan infrastruktur dioptimalkan maka pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa lebih dari 6%. Jakarta seharusnya dengan APBD yang fantastis, mencapai 40 triliun lebih seharusnya bisa lebih tertata dan tidak mengalami masalah finansial untuk pendanaan proyek-proyek yang berkelanjutan.

Seperti halnya penerapan E-city yang tentunya membutuhkan anggaran besar. Sebagai informasi, APBD di Jakarta hampir sama dengan APBD pemerintah Istanbul, namun seolah Jakarta belum menghasilkan apa-apa untuk menyelesaikan masalah perkotaan. Pemerintah DKI Jakarta seperti hanya bermain proyek dan usulan fantastis yang tak lebih sebagai lip service, namun tidak diimbangi dengan manajemen pengelolaan yang professional.

Bagi kota-kota lain di Indonesia, Jakarta tidak perlu menjadi kiblat dalam pembangunan perkotaan, sebaiknya kota-kota “berkembang” di Indonesia menerapkan sendiri konsep pembangunan masing-masing dengan melihat kemampuan lokalnya. Dengan demikian, diharapkan kota-kota yang sedang berkembang bisa menjadi kota yang berkelanjutan dan nyaman bagi masyarakat.

Pemerintah Daerah di Indonesia bisa memulai untuk merintis konsep E-city untuk menghadapi era globalisasi dan memberikan pendidikan terhadap masyarakat agar “melek” terhadap teknologi, dan teknologi akan memudahkan dalam beraktifitas dalam bermasyarakat.

*Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Perancangan Kota Istanbul Technical University, Turki

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement