REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti politik dari LIPI, Firman Noor menilai praktik politik dinasti dalam parpol pada akhirnya akan merugikan partai itu sendiri. Apalagi jika politik dinasti itu dilakukan tanpa rekrutmen yang benar dan mengedepankan unsur nepotisme.
"Pemotongan dalam rekrutmen politik dengan modus nepotisme pada akhirnya akan merugikan partai itu sendiri. Kader partai akan kehilangan motivasi untuk bekerja keras," kata Firman saat dihubungi Republika, Rabu (1/5).
Kecenderungan yang terjadi di Indonesia, kerabat yang diusung dalam pencalonan tidak melewati kaderisasi dan rekrutmen yang benar lantaran kaderisasi pada hampir semua parpol peserta pemilu belum terbangun dengan baik. Akibatnya, pada saat dibutuhkan menjelang pemilu legislatif atau pilkada, tokoh-tokoh yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi partai bermunculan.
Mereka mendapatkan kemudahan dan posisi mapan tanpa kerja keras terlebih dahulu dalam partai. Padahal, banyak kader partai mulai dari akar rumput yang telah mengabdi kepada partai.
Bila praktik nepotisme itu terus terjadi, menurut Firman, kader yang loyal terhada partai bisa kehilangan semangat untuk bekerja dan mengembangkan partai. Bahkan, bisa jadi mereka meninggalkan partai dan mencari rumah politik yang baru.
"Banyak yang hanya mengumpulkan kepentingan klan masing-masing. Mulai dari kepentingan bisnis, menjaga kekuasaan, atau faktor kedekatan," kata Firman,
Meski tidak sepenuhnya negatif,politik dinasti, lanjut Firman harusnya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh partai. Jika sistem kaderisasi dan rekrutmen dilakukan merata terhadap semua anggota partai, maka mereka yang berkerabat benar-benar memiliki kualitas dan kompetensi yang mumpuni sebagai pemimpin dan wakil rakyat.