REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan pers wajib memperlakukan wartawan sesuai ketentuan undang-undang. Hak-hak wartawan yang menyangkut upah, jam kerja, libur, secara tunjangan lain tidak boleh diabaikan.
"Pekerja pers juga harus diperlakukan sesuai UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003," kata anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatoellah ketika dihubungi Republika, Rabu (1/5).
Di era terbuka seperti sekarang ini, menurutnya, perusahaan pers wajib memenuhi kesejahteraan buruhnya. Poempida mengatakan praktik-praktik ketidakadilan yang tercermin lewat penghapusan hak-hak wartawan mesti dihilangkan.
Sebab, menurutnya, sikap semacam itu merupakan cermin penjajahan gaya baru. "Perusahaan pers masih menganut persepsi 'perbudakan' di masa lalu," ujarnya.
Praktik-praktik ketidakadilan terhadap wartawan mesti dihapus total. Wartawan, saran Poempida, mesti bersatu dan solid membentuk serikat bersama. Hal itu agar suara dan aspirasi wartawan lebih didengar.
Para wartawan juga mesti berani melaporkan segala bentuk pelanggaran hak yang mereka terima ke Dinas Tenaga Kerja Setempat agar persoalan mereka dapat ditindaklanjuti.
Selain itu DPR juga terbuka menampung aspirasi wartawan. "Komisi IX siap menampung aspirasi serikat buruh Pers, dan siap melakukan advokasi," katanya.
Sebelumnya Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Jakarta melakukan survei standar upah layak jurnalis/ wartawan di Ibu Kota. Menurut AJI upah layak jurnalis setingkat reporter dengan pengalaman satu tahun pada 2013 adalah Rp 5,4 juta per bulan.
Kenyataannya masih banyak wartawan yang menerima gaji di bawah Rp 2 juta. Beberapa kasus menyebutkan para buruh pers tidak hanya diharuskan mencari berita, mereka juga diminta perusahaan mencari iklan.