REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para guru yang tergabung dalam Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ikut aksi May Day. Mereka turun ke jalan bersama dengan ribuan buruh lain dan ikut berdemo. Alih-alih soal tenaga kerja, mereka menyuarakan soal penolakan ujian nasional (UN).
Sekjen FSGI, Retno Listyarti mengatakan, dalam aksi May Day kali ini guru ikut berdemo untuk menolak UN yang menimbulkan kemunduran dalam pendidikan di Indonesia. "Kami sudah menyuarakan berkali-kali kalau UN yang dilaksanakan selama ini tidak ada gunanya untuk mengukur kualitas pendidikan bangsa," katanya di Bunderan HI, Jakarta, (1/5).
Selama 10 tahun penyelenggaraan UN, ujar Retno, tidak ada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan kualitas pendidikan Indonesia sebanding dengan kualitas pendidikan di negara miskin dan terbelakang di Afrika. yakni Ghana.
Anak-anak Indonesia, kata Retno, hanya mampu menghafal saja. Mereka dalam hafalan memang nomor satu. Namun saat diminta menghubungkan satu fakta dengan fakta yang lain mereka tidak mampu.
Kemampuan penalaran menggunakan logika anak-anak Indonesia, ujar Retno, tidak bagus. Ini terjadi karena anak-anak sering dipaksa untuk menghafal dalam belajar. Diperparah dengan adanya UN yang menuntut hafalan tingkat tinggi.
Selain itu, kata Retno, UN hanya menghamburkan uang, padahal tidak meningkatkan kualitas pendidikan sama sekali. UN juga menimbulkan ketidakjujuran nasional. Kepala sekolah, guru berbuat curang dengan memberikan jawaban UN kepada siswa-siswanya agar mereka lulus UN.
Dana yang dihamburkan untuk UN, ujar Retno, terbuang percuma. Sebab UN tidak bisa menjadi ukuran bagi kualitas pendidikan anak. Selain itu, tender soal-soal UN juga terindikasi sarat korupsi. Terbukti pada penyelenggaraan UN kemarin 11 provinsi di Indonesia Tengah telat dalam mendapatkan soal-soal UN.