Sabtu 27 Apr 2013 16:17 WIB

Fenomena Caleg Pindah Parpol Ibarat 'Papalele'

Sejumlah Ketua umum Partai berfoto bersama dengan membawa no urut usai Pengundian nomor urut parpol peserta Pemilu 2014 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/1).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Sejumlah Ketua umum Partai berfoto bersama dengan membawa no urut usai Pengundian nomor urut parpol peserta Pemilu 2014 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/1).

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Antropolog Budaya, Gregor Neonbasu SVD, PhD mengatakan ruang gerak dunia politik saat ini layaknya dihiasi para 'papalele', yakni banyak politisi pindah parpol setelah partai semula tidak lolos menjadi peserta Pemilu Legislatif 2014.

"Mungkin istilah (papalele-pedagang kecil-red) yang saya gunakan ini tidak benar, namun esensinya sangat jelas, yakni para caleg yang pindah parpol itu tidak tahu apa yang menjadi landasan utama untuk bergeser dari dasar pijak politiknya semula," katanya di Kupang, Sabtu (27/4), ketika ditanya Antara soal fenomena caleg pindah parpol.

Antropolog dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang itu mengatakan fenomena para politisi pindah parpol tersebut menjadi sebuah pertanyaan yang sangat fundamental, apakah karena kepentingan politiknya selama ini tidak terakomodir, atau ingin mencari pengalaman baru?

"Ataukah karena terdorong oleh sebuah panggilan politik yang lebih luhur, mulia dan bermartabat? Lalu, mungkinkah terdapat perbedaan antara pindah parpol untuk membaharui misi 'mengabdi', atau tetap pada partai tertentu untuk lebih mendalami 'usaha mengabdi'...," katanya dalam nada tanya.

Yang pasti, tambah Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, bahwa fenomena pindah parpol tersebut merupakan hak para politisi dan mungkin itu merupakan kreativitas politik agar bisa dipertontonkan banyak orang.

Neonbasu mengatakan ada satu hal sangat janggal, namun menarik untuk direfleksi adalah kata-kata manis dan realitas mendasar, antara topeng dan orang dibaliknya, antara perkataan mereka sekarang dan perbuatan yang pernah mereka lakukan sebagai politisi.

"Seorang politisi hendaknya tidak terkurung dalam mindset, dan terlebih kata-kata manis yang diobral atau seperangkat tingkah laku politik yang terungkap secara liar untuk menarik massa. Ia harus terbebas dari topeng untuk terjun langsung dalam kenyataan masyarakat yang merindu pengabdian tulus," katanya.

Ia menambahkan setiap perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian kekuasaan, sehingga memunculkan pertanyaan di sini, "Apakah politisi yang pindah parpol itu sungguh-sungguh dilandasi oleh sebuah strategi untuk mencari lahan guna melayani dan mengabdi kepada masyarakat"?

"Ataukah, fenomena pindah parpol itu sebagai sebuah strategi baru dari politisi tertentu ketika gagal dalam memberi terobosan bagi kehidupan partai, atau inikah pola yang tidak disadari untuk memporakporandakan konstelasi sistem perpolitikan yang semakin suram," katanya seraya bertanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement