REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Tiga mahasiswa Universitas Brawijaya menawarkan konsep "Judicial Review" ke Mahkamah Konstitusi sebagai langkah progresif untuk meminimalkan, sekaligus menekan jumlah Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945.
"Kami prihatin akan banyaknya masyarakat yang mengajukan judicial review terhadap produk Undang-undang yang diajukan ke mahkamah konstitusi (MK)," kata Achmad Aprianto, salah satu mahasiswa yang menawarkan konsep tersebut di Malang, Jatim, Jumat.
Konsep yang ditawarkan tiga mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) ke MK tersebut, dipresentasikan dalam kompetisi Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) 2013 yang digelar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Karya Ilmiah yang diberi judul "Urgenitas Judicial Review oleh MK" tersebut menyabet juara pertama LKTI bidang hukum tingkat nasional. Selain dikerjakan Achmad Aprianto, karya ilmiah tersebut juga dibuat oleh Tegar Wira Pambudi dan Andryan Arif Sanjaya.
Lebih lanjut Achmad mengatakan hingga akhir tahun 2012, dari 169 perkara hanya 57 persen yang bisa diperiksa dan diselesaikan, sehingga masih ada 43 persen yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi MK untuk segera diselesaikan. "Kondisi ini menjadikan ketidakefektifan dalam sistem ketatanegaraan NKRI," tandasnya.
Dalam konsep judicial Review yang ditawarkan ketiga mahasiswa tesrebut, Rancangan Undang Undang (RUU) yang diterbitkan ke masyarakat dapat dilakukan upaya Judicial Review (diuji terhadap Undang-Undang Dasar) oleh MK.
Kalau ada masyarakat, baik pribadi maupun kelompok, yang merasa hak konstitusinya akan dilanggar jika RUU itu sudah disahkan menjadi UU, maka bisa dilakukan judicial review, RUU akan dikembalikan ke DPR untuk diperbaiki.
"Jika sudah diperbaiki akan dibuat UU, namun kalau dalam perjalanan pembahasan UU tersebut ada masyarakat yang merasa hak konstitusinya dilanggar, maka dapat dilakukan judicial review seperti yang selama ini dilakukan oleh MK," kata Andrian.
Hanya saja, konsep judicial Review yang diterapkan ini tidak bisa diterapkan untuk semua RUU. Mereka memberikan batasan hanya pada RUU produk legislatif dan RUU yang bersifat baru, bukan atas perubahan Undang-undang yang sudah ada.