REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masih memperjuangkan hak keterwakilan perempuan di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka masih berpendapat ada bias dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Kuasa hukum pemohon, Erna Ratnaningsih, menghadirkan dua saksi ahli dalam persidangan lanjutan di Ruang Sidang MK, Kamis (25/4). Pengajar Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, menjadi salah satu saksi ahli. Rocky berpendapat, masih ada bias dalam peraturan perundangan yang ada.
"Kalau tidak ada affirmative action (perlakuan khusus) untuk perempuan, maka itu menjadi bias," kata dia. Menurut Rocky, perlakuan khusus untuk perempuan merupakan hak peradaban. Ia mengatakan, hal itu sudah ada dalam konvensi internasional. Rocky merujuk pada UN Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW).
Dalam Pasal 4 ayat 1, menyebutkan pembuat peraturan khusus sementara oleh negara yang ditunjukkan untuk mempercepat persamaan 'de facto' antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi.
Syamsiah Ahmad, saksi ahli lainnya, mengatakan, pasal itu mempercepat tercapainya persamaan substantif antara perempuan dan laki-laki. Itu termasuk persamaan kedudukan sebagai warna negara. "Karena itu perlu mengoreksi segala sesuatu yang tidak mendukung," kata Syamsiah, yang pernah menjadi anggota Komite Khusus Perempuan di PBB itu. Dengan bukti-bukti ini, Erna mengatakan harus ada perubahan dalam beberapa Pasal UU Nomor 8 Tahun 2012.
Sementara itu pada persidangan sebelumnya, pihak pemerintah selaku termohon menyatakan UU itu sudah menjamin keterwakilan perempuan. Saat itu pihak pemerintah diwakili Anggota DPR Martin Hutabarat, dan Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek.