REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada pilihan sebagai jalan untuk mengatasi persoalan BBM bersubsidi di dalam negeri. Salah satunya adalah dengan menerapkan dua harga. Namun, menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf, sebaiknya pemerintah membatalkan pilihan tersebut.
Menurutnya, skema tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan kalau diberlakukan, maka MK sudah pasti akan membatalkannya, sehingga rencana ini hanya akan membuang energi saja. Pasal 33 ayat 3 berbunyi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
"Pasal ini tidak membedakan antara rakyat miskin dan rakyat kaya. Rencana ini jelas membedakan rakyat antara si miskin dan si kaya dalam hal pelayanan negara. Dengan demikian maka upaya apapun akan percuma saja, karena pasti akan dibatalkan oleh MK,” ujar Asep dalam pernyataannya, Kamis (18/4).
Seperti diketahui pemerintah hampir dipastikan menerapkan rencana dual price BBM bersubsidi. Dengan skema dual price, maka BBM subsidi, baik jenis premium maupun solar, dijual dengan dua varian harga. Pertama, harga subsidi penuh Rp 4.500 per liter untuk angkutan umum dan sepeda motor. Kedua, harga berkisar Rp 6.500 - Rp 7.000 per liter untuk mobil pribadi lantaran subsidinya dikurangi.
“Seharusnya harga BBM tetap satu, mau dipertahankan atau dinaikan tanpa perbedaan. Semuanya harus sama merasakan manfaat dari BBM bersubsidi saat ini atau merasakan dampak kenaikan BBM. Disini kewajiban pemerintah seharusnya membangun prasarana untuk rakyat yang lebih baik seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan lain-lainnya,” jelasnya.